Senin, 25 Juli 2016


Lembaga Grasi Yang Secara Eksplisit Diakui Oleh UUD 1945 Dapat Digunakan Oleh Para Terpidana Yang Menjadi Korban Rekayasa Oknum Penyidik.

PEMBAHASAN

Grasi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) UUD 1945;
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahmakah Agung”.

Jadi pemberian grasi merupakan kewenangan atau hak konstitusi Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Definis grasi sendiri adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden (vide pasal 1 angka 1 UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi).

Pengajuan grasi diajukan oleh Terpidana, kuasa hukumnya atau keluarganya dengan persetujuan Terpidana kepada Presiden, dan Khusus Permohonan grasi untuk pidana mati menurut pasal 6 ayat (3) UU No. 22/2002 dapat diajukan oleh keluarga Terpidana tanpa persetujuan terpidana. Salinan permohonan grasi yang diajukan kepada Presiden disampaikan juga kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung (vide pasal 8 ayat (2) UU No. 22/2002). Pemberian grasi yang diberikan kepada Terpidana berupa Keputusan Presiden yang berupa Pemberian atau Penolakan grasi terhadap permohonan grasi oleh Terpidana (vide pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No. 22/2002).

Pengajuan grasi oleh Terpidana kepada Presiden merupakan salah satu hak konstitusi setiap Terpidana. Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan bentuk pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden kepada Terpidana adalah berupa:
a.       Peringanan atau perubahan jenis pidana
b.      Pengurangan jumlah pidana, atau
c.       Penghapusan pelaksanaan pidana
Selain hal tersebut diatas, adanya lembaga grasi juga adalah dalam rangka penegakan, pemenuhan keadilan dan perlindungan HAM serta grasi adalah bagian dari cara negara untuk memberikan pengampunan kepada Warga Negaranya yang melakukan kesalahan dalam suatu perbuatan pidana yang hak pemberiannya diserahkan kepada Presiden sepenuhnya, meskipun terlebih dahulu harus dengan mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung guna mengetahui latar belakang, motivasi, serta keadaan terpidana dan akibat perbuatannya.[1]
Pemberian grasi yang merupakan hak konstitusi dan hak prerogatif Presiden yang didasarkan atas kebaikan hati Presiden memberikan Pengampunan kepada warganya, sehingga digabulkan atau tidaknya permohonan grasi tergantung pada hati Presiden sendiri.
Pemberian grasi kepada Terpidana memang sangat penting selain untuk Terpidana sendiri juga untuk kepentingan Negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas penghukuman yang diberikan kepada Terpidana yang mungkin ada tekanan rezim kekuasaan sehingga akan melepaskan dari beban politik sedemikian rupa. Kepentingan lainnya adalah bahwa Terpidana tersebut sangat dibutuhkan oleh Negara, baik atas keahliannya maupun perannya dalam mengangkat nama baik bangsa di luar Negeri atas prestasi tertentu. Pemberian grasi juga dapat didasarkan pada pertimbangan perikemanusiaan yakni, untuk mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang luar biasa sehingga sudah tidak manusiawi lagi bagi Terpidana dan pemberian grasi sebagai jalan keluar terhadap nasib Terpidana yang sangat memilukan keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua, penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga permasyarakatan dan Terpidana menjadi gila.[2]
KUHAP kita telah memberikan solusi jika seseorang menjadi Terpidana karena rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis, yakni dengan mengajukan upaya hukum PK dan tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 95 KUHAP melalui proses praperadilan.

Namun jika upaya hukum PK telah dilakukan oleh seseorang yang menjadi Terpidana karena rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis, dapatkah mengajukan grasi ke Presiden untuk memperoleh keadilan?.

Hukum positif kita memberikan hak seseorang Terpidana yang divonis mati untuk melakukan upaya hukum sebelum dieksekusi mati oleh Kejaksaan yaitu mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung dan menggunakan hak konstitusi Terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.

Jaksa sebagai eksekutor, demi kepastian hukum dan demi kepentingan kemanusian, alangkah baiknya jika jaksa sebelum mengeksekusi mati Terpidana mati untuk menanyakan dan menyarankan kepada Terpidana mati atau keluarganya untuk menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Walaupun tindakan jaksa tersebut secara eksplisit tidak diatur oleh Undang-undang, namun tindakan demikian secara doktiner dapat dibenarkan dan sebagai penegak hukum hal tersebut dibenarkan.

Permohonan grasi merupakan hak konstitusi setiap Terpidana dan pemberian grasi adalah hak konstitusi dan hak prerogatif Presiden, sehingga dalam penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang baik yang menjadi korban rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis ataupun Terpidana lainnya, dapat menggunakan hak konstitusinya untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden untuk memohon pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana, tetapi permohonan grasi tersebut harus memenuhi ruang lingkup pemberian grasi sebagaimana dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 22/2002 yakni Terpidana dapat mengajukan permohonan grasi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 tahun.

Ruben Pata Sambo dan anak Markus Pata Sambo yang telah divonis mati oleh Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan keduanya juga telah melakukan permohonan PK ke Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Agung permohonan PK tersebut ditolak. Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Ruben Pata Sambo dan anak Markus Pata Sambo adalah dengan menggunakan hak konstitusinya yaitu mengajukan permohonan grasi kepada Presiden dengan alasan penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang yang menjadi korban rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis dengan mengaca/belajar dari kasus-kasus seperti Sengkon-Karta, Devid Eko Priyono dan Imam Chambali yang akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, walaupun Sengkon-Karta, Devid Eko Priyono dan Imam Chambali telah menjalanin pidana bertahun-tahun.

 KESIMPULAN
Bahwa kesimpulan dari uraian diatas adalah:
-          Sebelum Terpidana mati dieksekusi oleh Kejaksaan, Terpidana mati memiliki upaya hukum yang dapat dilakukan yakni Permohonan PK ke Mahkamah Agung dan Permohonan grasi kepada Presiden.
-          Permohonan grasi adalah hak konstitusi dari setiap Terpidana demi membantu terwujudnya penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang. Artinya permohonan grasi yang dilakukan oleh Terpidana bukan diartikan Terpidana tersebut mengakui kesalahannya tetapi permohonan grasi digunakan untuk tegak dan terpenuhinya keadilan serta perlindungan HAM seseorang yang ada ditangan Presiden.
-          Demi kepastian hukum dan demi kepentingan kemanusian serta merupakan kewajiban sebagai penegak hukum, Jaksa sebagai eksekutor sebelum mengeksekusi Terpidana mati wajib menanyakan dan menyarankan kepada Terpidana mati atau keluarga untuk menggunakan hak konstitusinya mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
-          Ruben Pata Sambo dan anak Markus Pata Sambo dapat mengajukan permohonan permintaan grasi kepada Presiden dengan alasan penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang yang menjadi korban rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis dengan mengaca/belajar dari kasus-kasus seperti Sengkon-Karta, Devid Eko Priyono dan Imam Chambali yang akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, setelah mereka bertahun-tahun menjalankan pidana penjara.



[1] Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015, hal. 77
[2] Ibid, hal. 78