Lembaga Grasi Yang Secara Eksplisit Diakui Oleh UUD
1945 Dapat Digunakan Oleh Para Terpidana Yang Menjadi Korban Rekayasa Oknum Penyidik.
PEMBAHASAN
Grasi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden
sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) UUD 1945;
“Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahmakah Agung”.
Jadi pemberian grasi merupakan kewenangan atau hak konstitusi Presiden
yang diberikan oleh UUD 1945. Definis grasi sendiri adalah pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden (vide
pasal 1 angka 1 UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi).
Pengajuan grasi diajukan oleh Terpidana, kuasa hukumnya atau
keluarganya dengan persetujuan Terpidana kepada Presiden, dan Khusus Permohonan
grasi untuk pidana mati menurut pasal 6 ayat (3) UU No. 22/2002 dapat diajukan
oleh keluarga Terpidana tanpa persetujuan terpidana. Salinan permohonan grasi
yang diajukan kepada Presiden disampaikan juga kepada Pengadilan yang memutus
pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung (vide pasal 8 ayat (2) UU No. 22/2002). Pemberian
grasi yang diberikan kepada Terpidana berupa Keputusan Presiden yang berupa
Pemberian atau Penolakan grasi terhadap permohonan grasi oleh Terpidana (vide pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No.
22/2002).
Pengajuan grasi oleh Terpidana kepada Presiden merupakan salah
satu hak konstitusi setiap Terpidana. Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 tahun 2002
tentang Grasi menyebutkan bentuk pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden
kepada Terpidana adalah berupa:
a. Peringanan
atau perubahan jenis pidana
b. Pengurangan
jumlah pidana, atau
c. Penghapusan
pelaksanaan pidana
Selain hal
tersebut diatas, adanya lembaga grasi juga adalah dalam rangka penegakan,
pemenuhan keadilan dan perlindungan HAM serta grasi adalah bagian dari cara
negara untuk memberikan pengampunan kepada Warga Negaranya yang melakukan
kesalahan dalam suatu perbuatan pidana yang hak pemberiannya diserahkan kepada
Presiden sepenuhnya, meskipun terlebih dahulu harus dengan mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung guna mengetahui latar belakang, motivasi,
serta keadaan terpidana dan akibat perbuatannya.[1]
Pemberian
grasi yang merupakan hak konstitusi dan hak prerogatif Presiden yang didasarkan
atas kebaikan hati Presiden memberikan Pengampunan kepada warganya, sehingga
digabulkan atau tidaknya permohonan grasi tergantung pada hati Presiden
sendiri.
Pemberian
grasi kepada Terpidana memang sangat penting selain untuk Terpidana sendiri
juga untuk kepentingan Negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung
atas penghukuman yang diberikan kepada Terpidana yang mungkin ada tekanan rezim
kekuasaan sehingga akan melepaskan dari beban politik sedemikian rupa.
Kepentingan lainnya adalah bahwa Terpidana tersebut sangat dibutuhkan oleh
Negara, baik atas keahliannya maupun perannya dalam mengangkat nama baik bangsa
di luar Negeri atas prestasi tertentu. Pemberian grasi juga dapat didasarkan
pada pertimbangan perikemanusiaan yakni, untuk mengurangi kelebihan kapasitas
lembaga pemasyarakatan yang luar biasa sehingga sudah tidak manusiawi lagi bagi
Terpidana dan pemberian grasi sebagai jalan keluar terhadap nasib Terpidana
yang sangat memilukan keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua,
penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga permasyarakatan
dan Terpidana menjadi gila.[2]
KUHAP kita telah memberikan solusi jika seseorang menjadi
Terpidana karena rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis, yakni
dengan mengajukan upaya hukum PK dan tuntutan ganti kerugian sebagaimana diatur
dalam pasal 95 KUHAP melalui proses praperadilan.
Namun jika upaya hukum PK telah dilakukan oleh seseorang yang
menjadi Terpidana karena rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah
vonis, dapatkah mengajukan grasi ke Presiden untuk memperoleh keadilan?.
Hukum positif kita memberikan hak seseorang Terpidana yang divonis
mati untuk melakukan upaya hukum sebelum dieksekusi mati oleh Kejaksaan yaitu
mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung dan menggunakan hak konstitusi
Terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Jaksa sebagai eksekutor, demi kepastian hukum dan demi kepentingan
kemanusian, alangkah baiknya jika jaksa sebelum mengeksekusi mati Terpidana
mati untuk menanyakan dan menyarankan kepada Terpidana mati atau keluarganya
untuk menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Walaupun
tindakan jaksa tersebut secara eksplisit tidak diatur oleh Undang-undang, namun
tindakan demikian secara doktiner dapat dibenarkan dan sebagai penegak hukum
hal tersebut dibenarkan.
Permohonan grasi merupakan hak konstitusi setiap Terpidana dan
pemberian grasi adalah hak konstitusi dan hak prerogatif Presiden, sehingga
dalam penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang baik yang
menjadi korban rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis ataupun
Terpidana lainnya, dapat menggunakan hak konstitusinya untuk mengajukan
permohonan grasi kepada Presiden untuk memohon pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana, tetapi permohonan
grasi tersebut harus memenuhi ruang lingkup pemberian grasi sebagaimana dalam
ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 22/2002 yakni Terpidana dapat
mengajukan permohonan grasi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
dan putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara
seumur hidup dan penjara paling rendah 2 tahun.
Ruben Pata Sambo dan anak Markus Pata Sambo yang telah divonis
mati oleh Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan keduanya
juga telah melakukan permohonan PK ke Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Agung
permohonan PK tersebut ditolak. Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh
Ruben Pata Sambo dan anak Markus Pata Sambo adalah dengan menggunakan hak
konstitusinya yaitu mengajukan permohonan grasi kepada Presiden dengan alasan
penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang yang menjadi korban
rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis dengan mengaca/belajar
dari kasus-kasus seperti Sengkon-Karta, Devid Eko Priyono dan Imam Chambali
yang akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana, walaupun Sengkon-Karta, Devid Eko Priyono dan
Imam Chambali telah menjalanin pidana bertahun-tahun.
KESIMPULAN
Bahwa
kesimpulan dari uraian diatas adalah:
-
Sebelum Terpidana mati dieksekusi oleh Kejaksaan, Terpidana mati
memiliki upaya hukum yang dapat dilakukan yakni Permohonan PK ke Mahkamah Agung
dan Permohonan grasi kepada Presiden.
-
Permohonan grasi adalah hak konstitusi dari setiap Terpidana demi
membantu terwujudnya penegakan dan pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM
seseorang. Artinya permohonan grasi yang dilakukan oleh Terpidana bukan
diartikan Terpidana tersebut mengakui kesalahannya tetapi permohonan grasi
digunakan untuk tegak dan terpenuhinya keadilan serta perlindungan HAM
seseorang yang ada ditangan Presiden.
-
Demi kepastian hukum dan demi kepentingan kemanusian serta
merupakan kewajiban sebagai penegak hukum, Jaksa sebagai eksekutor sebelum
mengeksekusi Terpidana mati wajib menanyakan dan menyarankan kepada Terpidana
mati atau keluarga untuk menggunakan hak konstitusinya mengajukan permohonan
grasi kepada Presiden.
-
Ruben Pata Sambo dan anak Markus Pata Sambo dapat mengajukan
permohonan permintaan grasi kepada Presiden dengan alasan penegakan dan
pemenuhan keadilan serta perlindungan HAM seseorang yang menjadi korban
rekayasa oknum penyidik atau menjadi korban salah vonis dengan mengaca/belajar
dari kasus-kasus seperti Sengkon-Karta, Devid Eko Priyono dan Imam Chambali
yang akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana, setelah mereka bertahun-tahun menjalankan
pidana penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar