HARMONISASI PENERAPAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN UU PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
I.
PENDAHULUAN
Pejabat pemerintah baik pejabat eksekutif, legislatif
dan yudikatif[1] saat ini
sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena
kewenangan pejabat-pejabat pemerintah kewenangannya sekarang ini sudah
distrandarisasikan oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-undang Administrasi Pemerintahan menurut
penulis sangatlah diperlukan karena selama 68 tahun sejak merdeka, negara kita
belum memiliki payung hukum (unbrella act)
atau undang-undang yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggara
pemerintahan, sehingga belum optimahnya fungsi kontrol yudisial (judicial control) yang dilaksanakan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain sisi tidak dapat
mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.
UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
menjadi dasar dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang baik karena
dalam UU No. 30 tahun 2014 menguat secara jelas Asas-Asas umum Pemerintahan
Yang Baik (algemene beginselen van
behoorlijk bestuur) pada Bagian Ke-3 (tiga) UU No. 30 tahun 2014 pasal 10[2],
sehingga sangat wajar dan patut UU No. 30 tahun 2014 menjadi hukum materiil[3]
dari Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 yang telah
diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi hukum acaranya.
Hubungan yang erat antara Hukum materiil yang memuat
dan mengatur masalah pokok dan dasar bagi hukum untuk berjalannya roda
pemerintahan dan berlaku secara umum dengan Hukum acara yang memuat prosedur
formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut melalui Peradilan Tata
Usaha Negara, maka sudah seharusnya ada keharmonisan antara kedua peraturan
tersebut, sehingga apa yang dimuat dalam UU No. 30 tahun 2014 tersebut dapat
diberlakukan secara efektif dalam masyarakat.[4]
Bahwa dari apa yang penulis uraikan diatas maka
penulis akan coba membahas hormonisasi antara UU Administrasi Pemerintah dan UU
Peradilan Tata Usaha Negara.
II.
PEMBAHASAN
Undang-undang No. 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) memberikan landasan baru bagi
Peradilan Tata Usaha Negara dalam
menguji sengketa tata usaha negara. UU AP ini akan mempermudahkan bagi
hakim-hakim Peratun dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat
menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha
Negara.
UU AP ini dibutuhkan untuk
memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan
kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari melayani masyarakat, karena selama ini hal-hal tersebut belum
diatur secara lengkap dalam suatu undang-undang yang khusus diadakan untuk itu,
sedangkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004, terakhir dilakukan perubahan dengan UU
No. 51 tahun 2009 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi
sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi
negara. Dalam prakteknya di Pengadilan Tata Usaha Negara sering kali ditemui
hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum
meteriilnya tidak diatur dalam Undang-undang Peratun, sehingga jalan keluar
yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada asas-asas pemerintahan yang
baik dan pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Salah satu elemen yang diatur dalam
UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat
administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur
administrasi pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai
ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota
masyarakat lainnya dalam satu administrasi pemerintah. Keputusan tersebut dapat
berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Konstruksi tentang definisi KTUN
kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya UU No. 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU AP ini secara signifikan memperluas
makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2
pasal di dalam UU AP, yakni pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 UU AP:
pasal 1 ayat (7) yang berbunyi:
“keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau
Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah
ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah
dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
Kalau kita perhatikan pasal di atas maka pasal
tersebut menunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN yakni
hanya menggunakan 3 kriteria saja yakni berupa;
1. Ketetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat
pemerintahan
3. Ketetapan tersebut dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan
Sedangkan
definisi KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yakni berupa;
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yng bersifat konkret, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Jadi menurut
UU No. 51 tahun 2009, definisi KTUN jauh lebih sempit dibandingkan dengan UU AP
karena KTUN dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni
mensyarakat harus berupa penetapan tertulis dan penetapan tersebut
bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 UU AP
berbunyi;
“dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 harus
dimaknai sebagai berikut:
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup
tindakan faktual;
b. Keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha
negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara
lainnya;
c. Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB;
d. Bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat
hukum dan/atau
f.
Keputusan
yang berlaku bagi warga masyarakat;
Penjelasan Pasal 87 UU AP;
“huruf (d) yang dimaksud dengan “final dalam
arti luas” mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang
berwenang”.
Kesimpulan
dari pasal 87 UU AP adalah;
1.
UU AP tidak secara tegas menghapus definis KTUN
menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009. Namun menurut pasal 87 ini, ketentuan/ definisi KTUN tersebut
memiliki makna baru yakni pemaknaan yang lebih luas yaitu berupa;
a.
Penetapan
tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.
Keputusan
badan dan/atau Pejabat Tata Usah Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.
Berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB
d.
Bersifat
final dalam arti lebih luas
e.
Keputusan
yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.
Keputusan
yang berlaku bagi warga masyarakat
2.
Pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa pasal 1 angka 7
UU AP tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam UU
No. 51 tahun 2009, mengingat kriteria-kriteria tersebut masih diakui
eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna
sebuah KTUN.
3.
Kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun
2009 mengalami revitalisasi, yakni:
i)
Penetapan tertulis,
Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam
bentuk tulisan,namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam tindakan
faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha
negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar
dilihat dari adanya tindakan hukum (rech handelingen) dalam bentuk
diterbitkannya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam
bentuk dan/ atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis
feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum
pemerintah namun merupakan tindakan faktual/ nyata yang dilakukan tanpa atau
memiliki dasar hukum.
ii)
Dimasukkannya tindakan faktual sebagai bagian
dari KTUN sebagai objek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari adanya ketentuan tentang diskresi yang diatur dalam pasal 22
sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 angka (9)
disebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas dan/ atau adanya stagnasi
pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan
diskresi. Persoalannya kemudian bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa
diskresi tersebut?
Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka marilah
kita lihat pasal 31 UU AP disebutkan:
“akibat hukum dari penggunaan diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan”.
Dalam kontek pembatalan produk diskresi inilah maka
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan
memutuskannya. Sedangkan apabila kita menggunakan kriteria KTUN menurut UU No.
51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Peradilan Tata Usaha Negara
saat ini adalah hanya terbatas pada menguji terhadap keputusan TUN
(beschikking).
Jadi artinya, setelah adanya UU AP pasal 87 maka
tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan
hukum oleh pemerintah/ OOD (onrechmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
iii)
Keputusan badan dan/ atau pejabat TUN di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
Pasal 87 UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang
berpotensi menjadi sengketa di Peradilan TUN.
Selama ini berdasarkan pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun
2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai Tata
Usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat perkembangannya, tata usaha
TNI saat ini sepenuhnya berapa di lingkungan eksekutif, baik yang
dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah
Komando Panglima TNI.
Artinya setelah adanya UU AP pasal 87 maka pasal 2
huruf e UU No. 9 tahun 2004 harus dikeluarkan dari Pengecualian sebagai KTUN,
karena saat ini TNI murni di bawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam
penyelenggaran pemerintahan dibidang pertahanan, maka setiap KTUN yang
diterbitkan dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN
yang dapat disengketakan di Peradilan TUN, sepanjang belum terbentuknya
Peradilan TUN khusus untuk TNI.
Mungkin ini adalah bukti bahwa semangat demokrasi dan
penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, tanpa kecuali di kalangan
TNI.
iv)
Terkait masalah “Keputuan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum”.
Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 9
tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, makna menimbulkan akibat hukum
dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim
Peradilan TUN dalam mengkostruksikan kerugikan hukum berdasarkan adanya fakta
kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan
kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri
apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang
atau badan hukum perdata.
Namun dengan adanya klausula “berpotensi menimbulkan
akibat hukum” sebagaimana di dalam pasal 87 UU AP, menyebabkan adanya perluasan
makna terhadap legal standing orang
atau badan hukum perdata yang akan menggugat di Peradilan TUN. Yakni apabila
adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum
nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat
digugat di Peradilan TUN. Hal ini berkaitan dengan kriteria KTUN yang memiliki
relevansi dengan diaturnya tindakan faktual/nyata dalam hal ini dalam bentuk
diskresi dalam UU AP.
v)
Terkait masalah “Keputusan yang berlaku bagi
warga masyarakat”.
Klausula diatas menambah makna baru dari segi
individual dalam kriteria sebauh KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau
kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.
Menurut pasal 1 angka (15) UU AP, warga masyarakat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan
dan/atau tindakan.
Secara teks tampak tidak ada perubahan baru antara
definisi warga masyarakat sebagaimana diatur dalam UU AP dengan kriteria KTUN
sebagaimana diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan
istilah “seseorang atau badan hukum
perdata” . Namun hilangnya redaksi “individual”
baik dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa semangat
KTUN yang dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi
sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan
kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait
pada individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi
warga masyarakat secara keseluruhan.
Jika kita hubungkan antara klausula “ keputusan berlaku bagi warga masyarakat” dengan klausula “menimbulkan akibat hukum” , maka pihak yang berpeluang menggugat
sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait dengan sebuah KTUN,
namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap
terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke Peradilan
TUN. Sehingga terbukanya gugatan kelompok (gugatan Class action).
III.
KESIMPULAN
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka kewenangan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara semakin luas sehingga tidak ada lagi
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya selama ini tidak
diatur dalam Undang-undang Peratun.
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka sekarang ini yang menjadi
objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tidak hanya berupa Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) tetapi juga tindakan faktual/ nyata yang produknya berupa
diskresi dari Pejabatan TUN maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang
untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sehingga dengan lahirnya
UU AP sangat membantu dalam penerapan UU Peradilan Tata Usaha Negara.
[1]
UU No. 30 tahun 2014, pasal 87
[2]
Ibid, Pasal 10
[3]
Ibid, Penjelasan umum
[4]
Ujang Abdullah, Reformasi Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara Berkaitan Dengan Rancangan Undang-undang
Administrasi Pemerintah.,hl. 1.,
I.
PENDAHULUAN
Pejabat pemerintah baik pejabat eksekutif, legislatif
dan yudikatif[1] saat ini
sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena
kewenangan pejabat-pejabat pemerintah kewenangannya sekarang ini sudah
distrandarisasikan oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-undang Administrasi Pemerintahan menurut
penulis sangatlah diperlukan karena selama 68 tahun sejak merdeka, negara kita
belum memiliki payung hukum (unbrella act)
atau undang-undang yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggara
pemerintahan, sehingga belum optimahnya fungsi kontrol yudisial (judicial control) yang dilaksanakan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain sisi tidak dapat
mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.
UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
menjadi dasar dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang baik karena
dalam UU No. 30 tahun 2014 menguat secara jelas Asas-Asas umum Pemerintahan
Yang Baik (algemene beginselen van
behoorlijk bestuur) pada Bagian Ke-3 (tiga) UU No. 30 tahun 2014 pasal 10[2],
sehingga sangat wajar dan patut UU No. 30 tahun 2014 menjadi hukum materiil[3]
dari Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 yang telah
diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi hukum acaranya.
Hubungan yang erat antara Hukum materiil yang memuat
dan mengatur masalah pokok dan dasar bagi hukum untuk berjalannya roda
pemerintahan dan berlaku secara umum dengan Hukum acara yang memuat prosedur
formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut melalui Peradilan Tata
Usaha Negara, maka sudah seharusnya ada keharmonisan antara kedua peraturan
tersebut, sehingga apa yang dimuat dalam UU No. 30 tahun 2014 tersebut dapat
diberlakukan secara efektif dalam masyarakat.[4]
Bahwa dari apa yang penulis uraikan diatas maka
penulis akan coba membahas hormonisasi antara UU Administrasi Pemerintah dan UU
Peradilan Tata Usaha Negara.
II.
PEMBAHASAN
Undang-undang No. 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) memberikan landasan baru bagi
Peradilan Tata Usaha Negara dalam
menguji sengketa tata usaha negara. UU AP ini akan mempermudahkan bagi
hakim-hakim Peratun dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat
menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha
Negara.
UU AP ini dibutuhkan untuk
memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan
kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari melayani masyarakat, karena selama ini hal-hal tersebut belum
diatur secara lengkap dalam suatu undang-undang yang khusus diadakan untuk itu,
sedangkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004, terakhir dilakukan perubahan dengan UU
No. 51 tahun 2009 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi
sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi
negara. Dalam prakteknya di Pengadilan Tata Usaha Negara sering kali ditemui
hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum
meteriilnya tidak diatur dalam Undang-undang Peratun, sehingga jalan keluar
yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada asas-asas pemerintahan yang
baik dan pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Salah satu elemen yang diatur dalam
UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat
administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur
administrasi pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai
ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota
masyarakat lainnya dalam satu administrasi pemerintah. Keputusan tersebut dapat
berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Konstruksi tentang definisi KTUN
kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya UU No. 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU AP ini secara signifikan memperluas
makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2
pasal di dalam UU AP, yakni pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 UU AP:
pasal 1 ayat (7) yang berbunyi:
“keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau
Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah
ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah
dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
Kalau kita perhatikan pasal di atas maka pasal
tersebut menunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN yakni
hanya menggunakan 3 kriteria saja yakni berupa;
1. Ketetapan tertulis
2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat
pemerintahan
3. Ketetapan tersebut dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan
Sedangkan
definisi KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yakni berupa;
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yng bersifat konkret, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Jadi menurut
UU No. 51 tahun 2009, definisi KTUN jauh lebih sempit dibandingkan dengan UU AP
karena KTUN dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni
mensyarakat harus berupa penetapan tertulis dan penetapan tersebut
bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 UU AP
berbunyi;
“dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 harus
dimaknai sebagai berikut:
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup
tindakan faktual;
b. Keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha
negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara
lainnya;
c. Berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB;
d. Bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat
hukum dan/atau
f.
Keputusan
yang berlaku bagi warga masyarakat;
Penjelasan Pasal 87 UU AP;
“huruf (d) yang dimaksud dengan “final dalam
arti luas” mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang
berwenang”.
Kesimpulan
dari pasal 87 UU AP adalah;
1.
UU AP tidak secara tegas menghapus definis KTUN
menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009. Namun menurut pasal 87 ini, ketentuan/ definisi KTUN tersebut
memiliki makna baru yakni pemaknaan yang lebih luas yaitu berupa;
a.
Penetapan
tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.
Keputusan
badan dan/atau Pejabat Tata Usah Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.
Berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB
d.
Bersifat
final dalam arti lebih luas
e.
Keputusan
yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.
Keputusan
yang berlaku bagi warga masyarakat
2.
Pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa pasal 1 angka 7
UU AP tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam UU
No. 51 tahun 2009, mengingat kriteria-kriteria tersebut masih diakui
eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna
sebuah KTUN.
3.
Kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun
2009 mengalami revitalisasi, yakni:
i)
Penetapan tertulis,
Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam
bentuk tulisan,namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam tindakan
faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha
negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar
dilihat dari adanya tindakan hukum (rech handelingen) dalam bentuk
diterbitkannya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam
bentuk dan/ atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis
feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum
pemerintah namun merupakan tindakan faktual/ nyata yang dilakukan tanpa atau
memiliki dasar hukum.
ii)
Dimasukkannya tindakan faktual sebagai bagian
dari KTUN sebagai objek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari adanya ketentuan tentang diskresi yang diatur dalam pasal 22
sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 angka (9)
disebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas dan/ atau adanya stagnasi
pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan
diskresi. Persoalannya kemudian bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa
diskresi tersebut?
Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka marilah
kita lihat pasal 31 UU AP disebutkan:
“akibat hukum dari penggunaan diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan”.
Dalam kontek pembatalan produk diskresi inilah maka
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan
memutuskannya. Sedangkan apabila kita menggunakan kriteria KTUN menurut UU No.
51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Peradilan Tata Usaha Negara
saat ini adalah hanya terbatas pada menguji terhadap keputusan TUN
(beschikking).
Jadi artinya, setelah adanya UU AP pasal 87 maka
tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan
hukum oleh pemerintah/ OOD (onrechmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
iii)
Keputusan badan dan/ atau pejabat TUN di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
Pasal 87 UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang
berpotensi menjadi sengketa di Peradilan TUN.
Selama ini berdasarkan pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun
2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai Tata
Usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat perkembangannya, tata usaha
TNI saat ini sepenuhnya berapa di lingkungan eksekutif, baik yang
dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah
Komando Panglima TNI.
Artinya setelah adanya UU AP pasal 87 maka pasal 2
huruf e UU No. 9 tahun 2004 harus dikeluarkan dari Pengecualian sebagai KTUN,
karena saat ini TNI murni di bawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam
penyelenggaran pemerintahan dibidang pertahanan, maka setiap KTUN yang
diterbitkan dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN
yang dapat disengketakan di Peradilan TUN, sepanjang belum terbentuknya
Peradilan TUN khusus untuk TNI.
Mungkin ini adalah bukti bahwa semangat demokrasi dan
penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, tanpa kecuali di kalangan
TNI.
iv)
Terkait masalah “Keputuan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum”.
Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 9
tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, makna menimbulkan akibat hukum
dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim
Peradilan TUN dalam mengkostruksikan kerugikan hukum berdasarkan adanya fakta
kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan
kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri
apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang
atau badan hukum perdata.
Namun dengan adanya klausula “berpotensi menimbulkan
akibat hukum” sebagaimana di dalam pasal 87 UU AP, menyebabkan adanya perluasan
makna terhadap legal standing orang
atau badan hukum perdata yang akan menggugat di Peradilan TUN. Yakni apabila
adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum
nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat
digugat di Peradilan TUN. Hal ini berkaitan dengan kriteria KTUN yang memiliki
relevansi dengan diaturnya tindakan faktual/nyata dalam hal ini dalam bentuk
diskresi dalam UU AP.
v)
Terkait masalah “Keputusan yang berlaku bagi
warga masyarakat”.
Klausula diatas menambah makna baru dari segi
individual dalam kriteria sebauh KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau
kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.
Menurut pasal 1 angka (15) UU AP, warga masyarakat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan
dan/atau tindakan.
Secara teks tampak tidak ada perubahan baru antara
definisi warga masyarakat sebagaimana diatur dalam UU AP dengan kriteria KTUN
sebagaimana diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan
istilah “seseorang atau badan hukum
perdata” . Namun hilangnya redaksi “individual”
baik dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa semangat
KTUN yang dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi
sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan
kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait
pada individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi
warga masyarakat secara keseluruhan.
Jika kita hubungkan antara klausula “ keputusan berlaku bagi warga masyarakat” dengan klausula “menimbulkan akibat hukum” , maka pihak yang berpeluang menggugat
sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait dengan sebuah KTUN,
namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap
terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke Peradilan
TUN. Sehingga terbukanya gugatan kelompok (gugatan Class action).
III.
KESIMPULAN
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka kewenangan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara semakin luas sehingga tidak ada lagi
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya selama ini tidak
diatur dalam Undang-undang Peratun.
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka sekarang ini yang menjadi
objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tidak hanya berupa Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) tetapi juga tindakan faktual/ nyata yang produknya berupa
diskresi dari Pejabatan TUN maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang
untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sehingga dengan lahirnya
UU AP sangat membantu dalam penerapan UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar