Kamis, 16 Juni 2016

HARMONISASI PENERAPAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HARMONISASI PENERAPAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA
I.                    PENDAHULUAN
Pejabat pemerintah baik pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif[1] saat ini sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena kewenangan pejabat-pejabat pemerintah kewenangannya sekarang ini sudah distrandarisasikan oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-undang Administrasi Pemerintahan menurut penulis sangatlah diperlukan karena selama 68 tahun sejak merdeka, negara kita belum memiliki payung hukum (unbrella act) atau undang-undang yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggara pemerintahan, sehingga belum optimahnya fungsi kontrol yudisial (judicial control) yang dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain sisi tidak dapat mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.

UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjadi dasar dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang baik karena dalam UU No. 30 tahun 2014 menguat secara jelas Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) pada Bagian Ke-3 (tiga) UU No. 30 tahun 2014 pasal 10[2], sehingga sangat wajar dan patut UU No. 30 tahun 2014 menjadi hukum materiil[3] dari Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi hukum acaranya.

Hubungan yang erat antara Hukum materiil yang memuat dan mengatur masalah pokok dan dasar bagi hukum untuk berjalannya roda pemerintahan dan berlaku secara umum dengan Hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut melalui Peradilan Tata Usaha Negara, maka sudah seharusnya ada keharmonisan antara kedua peraturan tersebut, sehingga apa yang dimuat dalam UU No. 30 tahun 2014 tersebut dapat diberlakukan secara efektif dalam masyarakat.[4]

Bahwa dari apa yang penulis uraikan diatas maka penulis akan coba membahas hormonisasi antara UU Administrasi Pemerintah dan UU Peradilan Tata Usaha Negara.

II.                  PEMBAHASAN
Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) memberikan landasan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara  dalam menguji sengketa tata usaha negara. UU AP ini akan mempermudahkan bagi hakim-hakim Peratun dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.
UU AP ini dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari melayani masyarakat, karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara lengkap dalam suatu undang-undang yang khusus diadakan untuk itu, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004, terakhir dilakukan perubahan dengan UU No. 51 tahun 2009 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi negara. Dalam prakteknya di Pengadilan Tata Usaha Negara sering kali ditemui hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya tidak diatur dalam Undang-undang Peratun, sehingga jalan keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada asas-asas pemerintahan yang baik dan pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Salah satu elemen yang diatur dalam UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur administrasi pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota masyarakat lainnya dalam satu administrasi pemerintah. Keputusan tersebut dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Konstruksi tentang definisi KTUN kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU AP ini secara signifikan memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU AP, yakni pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 UU AP:

pasal 1 ayat (7) yang berbunyi:
keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Kalau kita perhatikan pasal di atas maka pasal tersebut menunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN yakni hanya menggunakan 3 kriteria saja yakni berupa;
1.       Ketetapan tertulis
2.       Dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan
3.       Ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Sedangkan definisi KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni berupa;
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yng bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Jadi menurut UU No. 51 tahun 2009, definisi KTUN jauh lebih sempit dibandingkan dengan UU AP karena KTUN dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni  mensyarakat harus berupa penetapan tertulis dan penetapan tersebut bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 UU AP berbunyi;
“dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 harus dimaknai sebagai berikut:
a.      Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas;
e.       Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat;
Penjelasan Pasal 87 UU AP;
“huruf (d) yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang”.
Kesimpulan dari pasal 87 UU AP adalah;
1.       UU AP tidak secara tegas menghapus definis KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009. Namun menurut pasal 87 ini, ketentuan/ definisi KTUN tersebut memiliki makna baru yakni pemaknaan yang lebih luas yaitu berupa;
a.       Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau Pejabat Tata Usah Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas
e.      Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat
2.       Pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa pasal 1 angka 7 UU AP tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009, mengingat kriteria-kriteria tersebut masih diakui eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.
3.       Kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 mengalami revitalisasi, yakni:
i)                    Penetapan tertulis,
Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan,namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam tindakan faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum (rech handelingen) dalam bentuk diterbitkannya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan/ atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/ nyata yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
ii)                   Dimasukkannya tindakan faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai objek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 angka (9) disebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak  jelas dan/ atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut?

Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka marilah kita lihat pasal 31 UU AP disebutkan:
“akibat hukum dari penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan”.

Dalam kontek pembatalan produk diskresi inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sedangkan apabila kita menggunakan kriteria KTUN menurut UU No. 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Peradilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada menguji terhadap keputusan TUN (beschikking).

Jadi artinya, setelah adanya UU AP pasal 87 maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/ OOD (onrechmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
iii)                 Keputusan badan dan/ atau pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
Pasal 87 UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di Peradilan TUN.
Selama ini berdasarkan pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya berapa di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah Komando Panglima TNI.

Artinya setelah adanya UU AP pasal 87 maka pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 harus dikeluarkan dari Pengecualian sebagai KTUN, karena saat ini TNI murni di bawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaran pemerintahan dibidang pertahanan, maka setiap KTUN yang diterbitkan dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di Peradilan TUN, sepanjang belum terbentuknya Peradilan TUN khusus untuk TNI.

Mungkin ini adalah bukti bahwa semangat demokrasi dan penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, tanpa kecuali di kalangan TNI.

iv)                 Terkait masalah “Keputuan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum”.
Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim Peradilan TUN dalam mengkostruksikan kerugikan hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata.

Namun dengan adanya klausula “berpotensi menimbulkan akibat hukum” sebagaimana di dalam pasal 87 UU AP, menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di Peradilan TUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat digugat di Peradilan TUN. Hal ini berkaitan dengan kriteria KTUN yang memiliki relevansi dengan diaturnya tindakan faktual/nyata dalam hal ini dalam bentuk diskresi dalam UU AP.

v)                  Terkait masalah “Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat”.
Klausula diatas menambah makna baru dari segi individual dalam kriteria sebauh KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.

Menurut pasal 1 angka (15) UU AP, warga masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau tindakan.

Secara teks tampak tidak ada perubahan baru antara definisi warga masyarakat sebagaimana diatur dalam UU AP dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah “seseorang atau badan hukum perdata” . Namun hilangnya redaksi “individual” baik dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi warga masyarakat secara keseluruhan.

Jika kita hubungkan antara klausula “ keputusan berlaku bagi warga masyarakat”  dengan klausula “menimbulkan akibat hukum” , maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke Peradilan TUN. Sehingga terbukanya gugatan kelompok (gugatan Class action).

III.                KESIMPULAN
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara semakin luas sehingga tidak ada lagi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya selama ini tidak diatur dalam Undang-undang Peratun.

Bahwa dengan disahkannya UU AP maka sekarang ini yang menjadi objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tidak hanya berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tetapi juga tindakan faktual/ nyata yang produknya berupa diskresi dari Pejabatan TUN maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sehingga dengan lahirnya UU AP sangat membantu dalam penerapan UU Peradilan Tata Usaha Negara.



[1] UU No. 30 tahun 2014, pasal 87
[2] Ibid, Pasal 10
[3] Ibid, Penjelasan umum
[4] Ujang Abdullah, Reformasi Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Berkaitan Dengan Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintah.,hl. 1.,
I.                    PENDAHULUAN
Pejabat pemerintah baik pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif[1] saat ini sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena kewenangan pejabat-pejabat pemerintah kewenangannya sekarang ini sudah distrandarisasikan oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-undang Administrasi Pemerintahan menurut penulis sangatlah diperlukan karena selama 68 tahun sejak merdeka, negara kita belum memiliki payung hukum (unbrella act) atau undang-undang yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggara pemerintahan, sehingga belum optimahnya fungsi kontrol yudisial (judicial control) yang dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain sisi tidak dapat mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.

UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjadi dasar dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang baik karena dalam UU No. 30 tahun 2014 menguat secara jelas Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) pada Bagian Ke-3 (tiga) UU No. 30 tahun 2014 pasal 10[2], sehingga sangat wajar dan patut UU No. 30 tahun 2014 menjadi hukum materiil[3] dari Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi hukum acaranya.

Hubungan yang erat antara Hukum materiil yang memuat dan mengatur masalah pokok dan dasar bagi hukum untuk berjalannya roda pemerintahan dan berlaku secara umum dengan Hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut melalui Peradilan Tata Usaha Negara, maka sudah seharusnya ada keharmonisan antara kedua peraturan tersebut, sehingga apa yang dimuat dalam UU No. 30 tahun 2014 tersebut dapat diberlakukan secara efektif dalam masyarakat.[4]

Bahwa dari apa yang penulis uraikan diatas maka penulis akan coba membahas hormonisasi antara UU Administrasi Pemerintah dan UU Peradilan Tata Usaha Negara.

II.                  PEMBAHASAN
Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) memberikan landasan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara  dalam menguji sengketa tata usaha negara. UU AP ini akan mempermudahkan bagi hakim-hakim Peratun dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.
UU AP ini dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari melayani masyarakat, karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara lengkap dalam suatu undang-undang yang khusus diadakan untuk itu, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004, terakhir dilakukan perubahan dengan UU No. 51 tahun 2009 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi negara. Dalam prakteknya di Pengadilan Tata Usaha Negara sering kali ditemui hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya tidak diatur dalam Undang-undang Peratun, sehingga jalan keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada asas-asas pemerintahan yang baik dan pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Salah satu elemen yang diatur dalam UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur administrasi pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota masyarakat lainnya dalam satu administrasi pemerintah. Keputusan tersebut dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Konstruksi tentang definisi KTUN kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU AP ini secara signifikan memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU AP, yakni pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 UU AP:

pasal 1 ayat (7) yang berbunyi:
keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Kalau kita perhatikan pasal di atas maka pasal tersebut menunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN yakni hanya menggunakan 3 kriteria saja yakni berupa;
1.       Ketetapan tertulis
2.       Dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan
3.       Ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Sedangkan definisi KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni berupa;
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yng bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Jadi menurut UU No. 51 tahun 2009, definisi KTUN jauh lebih sempit dibandingkan dengan UU AP karena KTUN dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni  mensyarakat harus berupa penetapan tertulis dan penetapan tersebut bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 UU AP berbunyi;
“dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 harus dimaknai sebagai berikut:
a.      Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas;
e.       Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat;
Penjelasan Pasal 87 UU AP;
“huruf (d) yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang”.
Kesimpulan dari pasal 87 UU AP adalah;
1.       UU AP tidak secara tegas menghapus definis KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009. Namun menurut pasal 87 ini, ketentuan/ definisi KTUN tersebut memiliki makna baru yakni pemaknaan yang lebih luas yaitu berupa;
a.       Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau Pejabat Tata Usah Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas
e.      Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat
2.       Pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa pasal 1 angka 7 UU AP tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009, mengingat kriteria-kriteria tersebut masih diakui eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.
3.       Kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 mengalami revitalisasi, yakni:
i)                    Penetapan tertulis,
Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan,namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam tindakan faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum (rech handelingen) dalam bentuk diterbitkannya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan/ atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/ nyata yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
ii)                   Dimasukkannya tindakan faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai objek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 angka (9) disebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak  jelas dan/ atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut?

Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka marilah kita lihat pasal 31 UU AP disebutkan:
“akibat hukum dari penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan”.

Dalam kontek pembatalan produk diskresi inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sedangkan apabila kita menggunakan kriteria KTUN menurut UU No. 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Peradilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada menguji terhadap keputusan TUN (beschikking).

Jadi artinya, setelah adanya UU AP pasal 87 maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/ OOD (onrechmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
iii)                 Keputusan badan dan/ atau pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
Pasal 87 UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di Peradilan TUN.
Selama ini berdasarkan pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya berapa di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah Komando Panglima TNI.

Artinya setelah adanya UU AP pasal 87 maka pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 harus dikeluarkan dari Pengecualian sebagai KTUN, karena saat ini TNI murni di bawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaran pemerintahan dibidang pertahanan, maka setiap KTUN yang diterbitkan dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di Peradilan TUN, sepanjang belum terbentuknya Peradilan TUN khusus untuk TNI.

Mungkin ini adalah bukti bahwa semangat demokrasi dan penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, tanpa kecuali di kalangan TNI.

iv)                 Terkait masalah “Keputuan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum”.
Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim Peradilan TUN dalam mengkostruksikan kerugikan hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata.

Namun dengan adanya klausula “berpotensi menimbulkan akibat hukum” sebagaimana di dalam pasal 87 UU AP, menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di Peradilan TUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat digugat di Peradilan TUN. Hal ini berkaitan dengan kriteria KTUN yang memiliki relevansi dengan diaturnya tindakan faktual/nyata dalam hal ini dalam bentuk diskresi dalam UU AP.

v)                  Terkait masalah “Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat”.
Klausula diatas menambah makna baru dari segi individual dalam kriteria sebauh KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.

Menurut pasal 1 angka (15) UU AP, warga masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau tindakan.

Secara teks tampak tidak ada perubahan baru antara definisi warga masyarakat sebagaimana diatur dalam UU AP dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah “seseorang atau badan hukum perdata” . Namun hilangnya redaksi “individual” baik dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi warga masyarakat secara keseluruhan.

Jika kita hubungkan antara klausula “ keputusan berlaku bagi warga masyarakat”  dengan klausula “menimbulkan akibat hukum” , maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke Peradilan TUN. Sehingga terbukanya gugatan kelompok (gugatan Class action).

III.                KESIMPULAN
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara semakin luas sehingga tidak ada lagi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya selama ini tidak diatur dalam Undang-undang Peratun.

Bahwa dengan disahkannya UU AP maka sekarang ini yang menjadi objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tidak hanya berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tetapi juga tindakan faktual/ nyata yang produknya berupa diskresi dari Pejabatan TUN maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sehingga dengan lahirnya UU AP sangat membantu dalam penerapan UU Peradilan Tata Usaha Negara.




[1] UU No. 30 tahun 2014, pasal 87
[2] Ibid, Pasal 10
[3] Ibid, Penjelasan umum
[4] Ujang Abdullah, Reformasi Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Berkaitan Dengan Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintah.,hl. 1.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar