PUTUSAN YANG TIDAK MENCANTUMKAN PASAL 197 ayat (1) HURUF K KUHAP
I.
PENDAHULUAN
Suatu putusan harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam Pasal
197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).
a.
Kepala putusan yang dituliskan berbunyi :
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b.
Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.
Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat
dakwaan;
d.
Pertimbangan yang disusun secara ringkas
mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e.
Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam
surat tuntutan;
f.
Pasal peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa;
g.
Hari dan tanggal diadakannya musyawarah
majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.
Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan
telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkannya;
i.
Ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti;
j.
Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu
atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik
dianggap palsu;
k.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan;
l.
Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum,
nama hakim yang memutus
dan nama panitera;
Apabila syarat-syarat
yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l
KUHAP tidak terpenuhi akan berakibat putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat
(2) KUHAP). Akan tetapi dalam penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP dikatakan
bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi
kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan
penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.[2]
Bahwa tidak tercantumnya pasal 197 ayat 1 huruf K
KUHAP dalam suatu putusan pemidanaan menyebabkan putusan tersebut batal demi
hukum, hal ini menimbulkan banyak perbedaan pandangan dari para ahli hukum
pidana. Menurut Yusril Ihza Mahendra,
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa sesuai
dengan bunyi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP yang pada
prinsipnya mengatakan “setiap putusan tanpa perintah penahanan adalah batal
demi hukum”, secara teori hukum dan makna bunyi kedua Pasal diatas adalah betul.[3]
Pendapat kedua dikemukan oleh
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali yang menegaskan bahwa perintah penahanan tidak
diperlukan dalam putusan kasasi, “karena putusan yang sudah ingkrah
(berkekuatan Hukum tetap) harus dilaksanakan. Tidak perlu lagi ada perintah
untuk penahanan. Itu otomatis. Begitu diserahkan ke Jaksa selaku eksekutor,
jaksalah yang melaksanakan putusan tersebut.[4]
Perdebatan
terhadap hal-hal tersebut diatas juga terjadi karena adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor: 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 197
ayat (1) huruf k UU 8/1981 secara formal merupakan ketentuan yang bersifat imperative
atau mandatory kepada pengadilan, dalam hal ini hakim yang
mengadili, yang manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam
putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meskipun
demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, secara materiil-substantif kualifikasi imperative
atau mandatory-nya seluruh ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a
quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat, terlebih lagi manakala
membacanya dikaitkan dengan pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem
pengaturan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981
bahwa, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h,
j, k dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”, namun
dalam Penjelasannya dinyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan
h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka
kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan
batalnya putusan demi hukum”. Dengan demikian maka, apabila suatu putusan
pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i
karena tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan
atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak
menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Oleh karenanya, secara
materiil-substantif kualifikasi imperative atau mandatory dari
keseluruhan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat
dikatakan sama atau setingkat.[5]
Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa memang benar dalam suatu amar putusan pidana tetap
perlu ada suatu pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam
tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan materi
amar putusan lainnya yang telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus
dijatuhi pidana, namun ada atau tidaknya pernyataan tersebut tidak dapat
dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materil yang telah dinyatakan
dalam hakim dalam amar putusannya.[6] Bahwa ketika dalam perkara
pidana yang harus dibuktikan adalah kebenaran materil, dan saat kebenaran
materil tersebut sudah terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana
namun karena ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam
tahanan atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh
merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih
mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata.[7]
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas
Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tidak
bersifat imperatif, atau bukan merupakan keharusan. Sikap ini sama dengan suara dari Kejaksaan Agung. “Apabila hakim tidak memuat perintah
penahanan, putusannya tidak batal demi hukum. Ini salah satu kesepakatan pembahasan
diskusi para Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di Komisi
Pidana Khusus dalam Rakernas MA 2012”. Begitu seseorang dinyatakan bersalah dan
dihukum penjara, maka hukuman itu harus dijalani tanpa melihat ada atau
tidaknya perintah menahan terdakwa/terpidana. Kalaupun di tingkat pertama dan
banding terdakwa tidak ditahan, kalau di tingkat kasasi ia dihukum maka Jaksa wajib mengeksekusi putusan itu dengan melakukan penahanan. Pasal
197 ayat (1) huruf k berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat: k.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”.
Ridwan Mansyur menegaskan persoalan pemuatan perintah penahanan ini merupakan
diskresi (kewenangan) hakim apakah akan menahan terdakwa atau tidak. Artinya,
meski tidak ada perintah penahanan dan putusannya sudah berkekuatan hukum
tetap, Jaksa tetap bisa mengeksekusi putusan itu. “Lain hal, jika sejak awal terdakwa
sudah ditahan, maka hakim wajib mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan
dalam amar putusannya. Jika tidak memuat perintah untuk tetap dalam tahanan,
maka putusan batal demi hukum,” kata Ridwan.[8]
Dalam praktik,
penanganan kasus-kasus tertentu seperti putusan kasasi Mahkamah Agung (bulan
April 2004) terhadap kasus pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) berat Timor
Timur atas nama terdakwa Abilio Jose Osorio Soares (mantan Gubernur Timtim)
yang dihukum 5 tahun penjara, Pengadilan HAM Jakarta Pusat dan Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta tidak pernah memerintahkan terdakwa masuk tahanan. Namun,
seketika Putusan Mahkamah Agung diucapkan maka sesuai Pasal 270 KUHAP
Jaksa/Penuntut Umum langsung “menahan” terdakwa dalam penjara Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang Jakarta Timur. Juga terhadap putusan kasasi Mahkamah
Agung atas nama terdakwa konglomerat Probosutedjo yang dihukum 4 tahun penjara
Senin (28/11-2005), esok harinya Selasa (29/11-2005) terdakwa langsung masuk
tahanan di Lembaga Permasyarakatan Cipinang walaupun sebelumnya Pengadilan di
bawahnya tak pernah memerintahkan terdakwa untuk ditahan. Dan masih banyak
contoh putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan dihukum
penjara tanpa perintah penahanan sehinggap putusan tersebut tentunya telah melanggar
Pasal 197 ayat (1) huruf (k) KUHAP, yang mengakibatkan putusan itu semestinya
batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Namun, dalam praktiknya
setiap putusan pemidanaan tanpa perintah terdakwa ditahan tidak mengakibatkan
“putusan itu batal demi hukum (null and void)”. Artinya, putusan itu
“tetap sah menurut hukum” dan putusan demikian telah diterima dan dilaksanakan
oleh Jaksa dan terdakwa.[9]
II.
ISI
Terhadap ketentuan-ketentuan
dalam penyusunan Putusan pemidanaan dalam pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut maka kita harus memperhatikan pula
Petunjuk teknis Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 8 tahun 1985 yang
menyatakan bahwa:
“Meskipun dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ada ketentuan yang
menyebutk Terhadap ketentuan-ketentuan dalam penyusunan Putusan
pemidanaan tersebut diatas
an bahwa surat putusan pemidaan harus memuat antara lain perintah
supaya terdakwa ditahan, namun karena penahanan itu menurut Pasal 1 butir 21
KUHAP harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, maka
apabila wewenang penahanan dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sudah
habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak dapat
memerintahkan “agar terdakwa ditahan” didalam putusannya.”
Menurut SEMA nomor 8 tahun 1985 tersebut,
terdakwa yang sudah habis masa tahanannya dan menurut undang-undang, penahanan
terdakwa tidak mungkin lagi diperpanjang, hakim dalam amar putusannya dilarang
memerintahkan menahan terdakwa
(pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP). Maka berdasarkan teori-teori dan dasar hukum
yang disebutkan diatas, walaupun dalam amar putusan Pengadilan Negeri tersebut
tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, putusan
tersebut tidak batal demi hukum.
Bahwa apabila Terdakwa tidak ditahan baik
dalam penyidikan, penuntutan maupun pada saat pemeriksaan di Pengadilan maka Perintah supaya terdakwa ditahan, atau
tetap dalam tahanan atau dibebaskan berdasarkan pasal 197 ayat (1) huruf k
KUHAP tidak boleh dicantumkan dalam amar putusan, karena berdasarkan Pasal 26
ayat (4) KUHAP Jo pasal 29 ayat (6) KUHAP terdakwa harus dikeluarkan dari
tahanan demi hukum dan tidak ada lagi kewenangan Pengadilan Negeri untuk
menahan terdakwa. Sebagai konsekuensi hukumnya, dalam Putusan Pengadilan Negeri
tersebut hakim tidak dapat memerintahkan terdakwa ditahan.
Selain
itu yang harus diperhatikan adalah Pasal 193 KUHAP. Pasal 193 ayat (2) huruf a
menyatakan bahwa Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak
ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu.
Berdasarkan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut,
hakim “dapat” memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan dengan syarat
apabila tindak pidana yang dinyatakan terbukti dilakukan terdakwa memenuhi
ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk memerintahkan
penahanan apabila memenuhi syarat objektif dan subjektif penahanan. Bahwa kata
“dapat” dalam Pasal 193 ayat (2) huruf a
tersebut bersifat fakultatif. Kewenangan penahanan adalah hak subjektif dari
aparat penegak hukum. Argumentasi subjektif penegak hukum dapat muncul karena
kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak dan atau
menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Berarti hakim tidak
harus atau tidak wajib memerintahkan terdakwa ditahan. Hakim boleh
memerintahkan agar terdakwa tetap berada diluar tahanan. Sedangkan yang menjadi
keharusan sebenarnya adalah perintah terdakwa tetap dalam tahanan atau
dibebaskan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 242 KUHAP yang berbunyi:
“Jika dalam
pemeriksaaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu dalam tahanan, maka
pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap
ditahan atau dibebaskan”.
III.
KESIMPULAN
Putusan tidak dimuatnya pasal 197
ayat (1) huruf k bukan berarti putusan tersebut batal demi hukum, karena ada
hal-hal dan ketentuan-ketentuan lain yang harus diperhatikan yaitu apabila masa tahanan terdakwa habis,
maka Pasal 197 ayat (1) huruf k yang memuat perintah supaya terdakwa ditahan
atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan tidak boleh dicantumkan karena
berdasarkan Pasal 26 ayat (4) jo. Pasal 29 ayat (6) KUHAP, terdakwa harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum dan tidak ada lagi kewenangan Pengadilan
Negeri untuk menahan terdakwa. Selain itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung nomor 8 tahun 1985 apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan
Negeri sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri tidak dapat
memerintahkan “agar terdakwa ditahan” didalam putusannya.
Selain itu, mengenai pencantuman
status tahanan terdakwa dalam amar putusan apabila terdakwa tidak ditahan,
tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang menyatakan
apabila terdakwa tidak ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusan dapat
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan pasal
21 dan terdapat alasan cukup untuk itu. Kata “dapat” dalam Pasal 193 ayat (2)
huruf a berarti penahanan bukan merupakan keharusan tetapi merupakan hak
diskresi hakim. Dan untuk mencantumkan perintah penahanan terdakwa dalam surat
putusan pemidanaan harus memenuhi pasal
21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup.
[4] “MA Tidak
Akan Keluarkan Fatwa Terkait Eksekusi Susno” (on-line), tersedia di :http://www.beritamassa.pedulijatim.org/index.php/news/hukum/1714-ma-tidak-akan-keluarkan-fatwa-terkait-eksekusi-susno- (2 Mei
2013)
[8]“Amar
Penahanan dalam Putusan Tidak Imperatif” (On-line), tersedia di: http://http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a36a2d76047/amar-penahanan-dalam-putusan-tidak-imperatif.html (14
November 2012).
[9]Binsar M
Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama,2012), h.1h.81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar