Rabu, 15 Juni 2016

PUTUSAN YANG TIDAK MENCANTUMKAN PASAL 197 ayat (1) HURUF K KUHAP


I.                    PENDAHULUAN
Suatu putusan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).
Suatu putusan pemidaan memuat :[1]
a.      Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b.      Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.      Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.      Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e.      Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.       Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.      Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.      Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkannya;
i.        Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.        Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.      Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.        Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

Apabila syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l KUHAP tidak terpenuhi akan berakibat putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Akan tetapi dalam penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP dikatakan bahwa kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.[2]
Bahwa tidak tercantumnya pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP dalam suatu putusan pemidanaan menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum, hal ini menimbulkan banyak perbedaan pandangan dari para ahli hukum pidana. Menurut Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP yang pada prinsipnya mengatakan “setiap putusan tanpa perintah penahanan adalah batal demi hukum”, secara teori hukum dan makna bunyi kedua Pasal diatas adalah betul.[3]
Pendapat kedua dikemukan oleh Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali yang menegaskan bahwa perintah penahanan tidak diperlukan dalam putusan kasasi, “karena putusan yang sudah ingkrah (berkekuatan Hukum tetap) harus dilaksanakan. Tidak perlu lagi ada perintah untuk penahanan. Itu otomatis. Begitu diserahkan ke Jaksa selaku eksekutor, jaksalah yang melaksanakan putusan tersebut.[4]
Perdebatan terhadap hal-hal tersebut diatas juga terjadi karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 secara formal merupakan ketentuan yang bersifat imperative atau mandatory kepada pengadilan, dalam hal ini hakim yang mengadili, yang manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meskipun demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mandatory-nya seluruh ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat, terlebih lagi manakala membacanya dikaitkan dengan pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem pengaturan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 bahwa, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”, namun dalam Penjelasannya dinyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum”. Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i karena tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Oleh karenanya, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mandatory dari keseluruhan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat.[5]
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa memang benar dalam suatu amar putusan pidana tetap perlu ada suatu pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya yang telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana, namun ada atau tidaknya pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materil yang telah dinyatakan dalam hakim dalam amar putusannya.[6] Bahwa ketika dalam perkara pidana yang harus dibuktikan adalah kebenaran materil, dan saat kebenaran materil tersebut sudah terbukti dan oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana namun karena ketiadaan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang menyebabkan putusan batal demi hukum, sungguh merupakan suatu ketentuan yang jauh dari substansi keadilan, dan lebih mendekati keadilan prosedural atau keadilan formal semata.[7]
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tidak bersifat imperatif, atau bukan merupakan keharusan. Sikap ini sama dengan suara dari Kejaksaan Agung. “Apabila hakim tidak memuat perintah penahanan, putusannya tidak batal demi hukum. Ini salah satu kesepakatan pembahasan diskusi para Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di Komisi Pidana Khusus dalam Rakernas MA 2012”. Begitu seseorang dinyatakan bersalah dan dihukum penjara, maka hukuman itu harus dijalani tanpa melihat ada atau tidaknya perintah menahan terdakwa/terpidana. Kalaupun di tingkat pertama dan banding terdakwa tidak ditahan, kalau di tingkat kasasi ia dihukum maka Jaksa wajib mengeksekusi putusan itu dengan melakukan penahanan. Pasal 197 ayat (1) huruf k berbunyi, “Surat putusan pemidanaan memuat: k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Ridwan Mansyur menegaskan persoalan pemuatan perintah penahanan ini merupakan diskresi (kewenangan) hakim apakah akan menahan terdakwa atau tidak. Artinya, meski tidak ada perintah penahanan dan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap, Jaksa tetap bisa mengeksekusi putusan itu. “Lain hal, jika sejak awal terdakwa sudah ditahan, maka hakim wajib mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan dalam amar putusannya. Jika tidak memuat perintah untuk tetap dalam tahanan, maka putusan batal demi hukum,” kata Ridwan.[8]
Dalam praktik, penanganan kasus-kasus tertentu seperti putusan kasasi Mahkamah Agung (bulan April 2004) terhadap kasus pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) berat Timor Timur atas nama terdakwa Abilio Jose Osorio Soares (mantan Gubernur Timtim) yang dihukum 5 tahun penjara, Pengadilan HAM Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak pernah memerintahkan terdakwa masuk tahanan. Namun, seketika Putusan Mahkamah Agung diucapkan maka sesuai Pasal 270 KUHAP Jaksa/Penuntut Umum langsung “menahan” terdakwa dalam penjara Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta Timur. Juga terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung atas nama terdakwa konglomerat Probosutedjo yang dihukum 4 tahun penjara Senin (28/11-2005), esok harinya Selasa (29/11-2005) terdakwa langsung masuk tahanan di Lembaga Permasyarakatan Cipinang walaupun sebelumnya Pengadilan di bawahnya tak pernah memerintahkan terdakwa untuk ditahan. Dan masih banyak contoh putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan dihukum penjara tanpa perintah penahanan sehinggap putusan tersebut tentunya telah melanggar Pasal 197 ayat (1) huruf (k) KUHAP, yang mengakibatkan putusan itu semestinya batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Namun, dalam praktiknya setiap putusan pemidanaan tanpa perintah terdakwa ditahan tidak mengakibatkan “putusan itu batal demi hukum (null and void)”. Artinya, putusan itu “tetap sah menurut hukum” dan putusan demikian telah diterima dan dilaksanakan oleh Jaksa dan terdakwa.[9]

II.                  ISI
Terhadap ketentuan-ketentuan dalam penyusunan Putusan pemidanaan dalam pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut maka kita harus memperhatikan pula Petunjuk teknis Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 8 tahun 1985 yang menyatakan bahwa:
“Meskipun dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ada ketentuan yang menyebutk Terhadap ketentuan-ketentuan dalam penyusunan Putusan pemidanaan tersebut diatas an bahwa surat putusan pemidaan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan, namun karena penahanan itu menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, maka apabila wewenang penahanan dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak dapat memerintahkan “agar terdakwa ditahan” didalam putusannya.”
Menurut SEMA nomor 8 tahun 1985 tersebut, terdakwa yang sudah habis masa tahanannya dan menurut undang-undang, penahanan terdakwa tidak mungkin lagi diperpanjang, hakim dalam amar putusannya dilarang memerintahkan menahan terdakwa (pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP). Maka berdasarkan teori-teori dan dasar hukum yang disebutkan diatas, walaupun dalam amar putusan Pengadilan Negeri tersebut tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, putusan tersebut tidak batal demi hukum.
Bahwa apabila Terdakwa tidak ditahan baik dalam penyidikan, penuntutan maupun pada saat pemeriksaan di Pengadilan maka Perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan berdasarkan pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak boleh dicantumkan dalam amar putusan, karena berdasarkan Pasal 26 ayat (4) KUHAP Jo pasal 29 ayat (6) KUHAP terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum dan tidak ada lagi kewenangan Pengadilan Negeri untuk menahan terdakwa. Sebagai konsekuensi hukumnya, dalam Putusan Pengadilan Negeri tersebut hakim tidak dapat memerintahkan terdakwa ditahan.
Selain itu yang harus diperhatikan adalah Pasal 193 KUHAP. Pasal 193 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu.
Berdasarkan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut, hakim “dapat” memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan dengan syarat apabila tindak pidana yang dinyatakan terbukti dilakukan terdakwa memenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk memerintahkan penahanan apabila memenuhi syarat objektif dan subjektif penahanan. Bahwa kata “dapat” dalam Pasal 193 ayat (2) huruf a tersebut bersifat fakultatif. Kewenangan penahanan adalah hak subjektif dari aparat penegak hukum. Argumentasi subjektif penegak hukum dapat muncul karena kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak dan atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Berarti hakim tidak harus atau tidak wajib memerintahkan terdakwa ditahan. Hakim boleh memerintahkan agar terdakwa tetap berada diluar tahanan. Sedangkan yang menjadi keharusan sebenarnya adalah perintah terdakwa tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 242 KUHAP yang berbunyi:
“Jika dalam pemeriksaaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan”.

III.                KESIMPULAN
Putusan tidak dimuatnya pasal 197 ayat (1) huruf k bukan berarti putusan tersebut batal demi hukum, karena ada hal-hal dan ketentuan-ketentuan lain yang harus diperhatikan yaitu apabila masa tahanan terdakwa habis, maka Pasal 197 ayat (1) huruf k yang memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan tidak boleh dicantumkan karena berdasarkan Pasal 26 ayat (4) jo. Pasal 29 ayat (6) KUHAP, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum dan tidak ada lagi kewenangan Pengadilan Negeri untuk menahan terdakwa. Selain itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 8 tahun 1985 apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri tidak dapat memerintahkan “agar terdakwa ditahan” didalam putusannya.

Selain itu, mengenai pencantuman status tahanan terdakwa dalam amar putusan apabila terdakwa tidak ditahan, tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang menyatakan apabila terdakwa tidak ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu. Kata “dapat” dalam Pasal 193 ayat (2) huruf a berarti penahanan bukan merupakan keharusan tetapi merupakan hak diskresi hakim. Dan untuk mencantumkan perintah penahanan terdakwa dalam surat putusan pemidanaan harus  memenuhi pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup.




[1] Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 197 ayat (1).
[2] Ibid.,
[3] Harian Seputar Indonesia, Tanggal 4 Juni 2012
[4] “MA Tidak Akan Keluarkan Fatwa Terkait Eksekusi Susno” (on-line), tersedia di :http://www.beritamassa.pedulijatim.org/index.php/news/hukum/1714-ma-tidak-akan-keluarkan-fatwa-terkait-eksekusi-susno- (2 Mei 2013)
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012. h.139.
[6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012. h. 142
[7] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012. h. 141
[8]“Amar Penahanan dalam Putusan Tidak Imperatif” (On-line), tersedia di: http://http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a36a2d76047/amar-penahanan-dalam-putusan-tidak-imperatif.html (14 November 2012).
[9]Binsar M Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2012), h.1h.81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar