MENEMUKAN
PRINSIP KEADILAN DALAM PEMUNGUTAN PAJAK
I.
Konsep
Keadilan Sebagai Tujuan Hukum.
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum
dalam konstitusi kita yaitu pasal 1 ayat (3) UUD 45.[1]
Hukum sendiri memiliki beberapa tujuan sebagaimana pendapat dari Gustav
Radbruch yaitu bahwa Hukum bertumpu pada 3 (tiga) tujuan pertama keadilan
(gerechtigkeit), kedua kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan ketiga kepastian
hukum (rechtssicherheit)[2].
Ketiganya merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai oleh hukum secara
bersamaan.[3]
Namun
dalam praktik akan jamak sangat terlihat adanya pertentangan antara satu tujuan
dengan tujuan lainnya.[4]
Menyikapi hal yang demikian, Radbruch mengemukakan bahwa sebagai salah
satu tujuan hukum, posisi keadilan sangat dominan jika dibandingkan dengan
tujuan hukum lainnya. Dominasi asas keadilan dibanding asas lainnya ini
dikemukakannya dalam asas prioritas baku yang dijadikan prioritas nomor
satu selalu keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian
hukum[5].
Terlepas
dari kritik yang disampaikan terhadap asas prioritas baku yang
dikemukakan oleh Radbruch di atas, setidaknya perlu kita garis bawahi bahwa
asas atau prinsip keadilan merupakan elemen yang sangat urgent sebagai
dasar bagi dan tujuan dari hukum.
Apakah
yang dimaksud dengan keadilan?Ada banyak sekali definisi yang dikemukakan para
pakar tentang keadilan ini, misalnya apa yang dikemukakan oleh N.E. Algra menurutnya[6]:
“Apakah
sesuatu itu adil (rechtvaardig, lebih banyak tergantung pada “rechmatigheid”
(kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seorang penilai. Kiranya lebih
tidak baik mengatakan “itu adil”, tetapi itu mengatakan “hal itu saya anggap
adil”. Memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan suatu pendapat mengenai
nilai secara pribadi”
Menurut
A.S. Finawati meskipun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat
diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala
tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya[7]. Lantas
kenapa keadilan harus menjadi dasar dari suatu hukum? Alasannya adalah karena
hukum itu tidak identik dengan keadilan.[8]
II.
Menentukan
Prinsip Keadilan Dalam Pemungutan Pajak
Keadilan
merupakan asas yang menjadi substansi utama dalam pemungutan pajak di samping
anasir hukum itu sendiri. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya asas
(keadilan) tersebut dipegang teguh agar tercapai sistem perpajakan yang baik[9].
Akan tetapi prinsip keadilan adalah sesuatu yang sangat abstrak dan subjektif.
Meskipun demikian di dalam Hukum Pajak,
keadilan dikemukakan sebagai berikut:[10]
“Asas
keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan
kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak
tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara”.
Adolf
Wagner mengemukakan bahwa asas keadilan adalah dalam kondisi yang sama
antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam
jumlah yang sama (diperlakukan sama).[11]
Tidak
hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan perlakukan, keadilan dalam
pemungutan pajak dalam paham yang modern menurut Mar’ie Muhammad, juga berarti
bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak
yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah.[12]
Lantas
apakah yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di dalam
pemungutan pajak? Menurut Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti mengatakan,
akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada
saat dimulainya penyusunan undang-undang pajak.[13]
Sebagai pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip keadilan dalam
perundang-undangan menurut Adam Smith harus dipenuhi 4 (empat) syarat berikut:[14]
1. equality
and equity;
2. certainty;
3. convienience
of collection; dan
4. economics
of collections.
Keempat
pedoman ini disebut “the four canons of Adam Smith” atau “sering juga
disebut “the four maxim” [15].
Dalam penjabaran lebih lanjut, keempat syarat-syarat tersebut dapat
diuraikan lagi sebagai berikut:
1.
Equality atau
kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam
keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.[16]
Dalam asas ‘equality’ ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan
diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib
pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.[17]
Sementara itu, asas equity/kepatutan, merupakan keadilan yang bersifat
khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu.[18]
2.
Certainty
atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang[19].
UU Pajak yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada wajib
pajak, kapan ia harus membayar, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek
dan objek pajak dan berapa besarnya pajak.[20]
3.
Convenience of payment, maksudnya
adalah pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak
mempunyai uang atau saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan
yang bersangkutan.[21]
4.
Economics of collection, maksudnya
dalam membentuk undang-undang pajak yang baru para konseptor wajib
mempertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus relatif lebih kecil dibandingkan
dengan uang pajak yang masuk.[22]
Akomodasi
prinsip keadilan di dalam pembentukan undang-undang secara umum bukanlah
monopoli ketentuan Hukum Pajak belaka, lebih dari itu, prinsip tersebut juga
harus melandasi setiap perumusan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, prinsip keadilan tercermin pada asas perlakuan yang sama
dalam hukum (het rechtgelijkheidbrginsel) yang merupakan salah satu
dari lima asas material yang wajib dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan
sebagaimana dikemukakan oleh Van der Vlies. I.C van der Vliesdi mengatakan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu asas formal dan asas materil.[23]
Asas
formal mencakup:
a.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b.
Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c.
Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d.
Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e.
Asas konsensus (het
beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai
berkut:
a.
Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en
duitdelijke systematiek),
b.
Asas dapat
dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d.
Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e.
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
(het beginsel van de individuale
rechtsbedeling).
Di
samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan
juga dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Menurut Santoso
Brotodihardjo:[24]
“…hukum pajak harus dapat memberikan
jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada
pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak”.
Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh Wiratni Ahmadi, menurutnya:[25]
“agar dapat terpenuhi asas keadilan,
maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang diselenggarakan
secara umum dan merata. Artinya, seluruh individu-individu memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam hukum pajak”.
“…hal tersebut terutama berarti bahwa alokasi beban pajak
pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini
ada dua kriteria yang lazim digunakan untuk melihat apakah alokasi beban pajak
telah mencerminkan aspek keadilan, yaitu kemampuan membayar dari wajib pajak (ability to pay), dan prinsip benefit
(benefit principle)”.
Dalam perkembangannya akomodasi prinsip keadilan dalam
pemungutan pajak adalah adanya perlindungan kepada rakyat dari tindakan
pemerintah dalam pemungutan pajak tersebut. Menurut Mar’ie Muhammad;[27]
“…Tetapi
yang lebih penting apakah pembayar pajak dilindungi hak-haknya, jadi harus ada
keseimbangan antara kewajiban dan hak sebagai pembayar pajak. Melalui UU, harus
ada garansi objektif bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang
terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada
Pemerintah tanpa diberikan imbalan apapun secara langsung”.
Bahwa dalam pendapat
yang sama, Ibnu Khaldun telah
menekankan prinsip-prinsip perpajakan dalam bukunya berjudul “muqaddimah” yaitu
meliputi prinsip kesamarataan dan kenetralan dan juga menekankan pada
prinsip-prinsip kemudahan dan produktivitas yang tidak menindas.[28]
Prinsip-prinsip yang
dikemukakan Ibnu Khaldun itu didasari fakta bahwa faktor terpenting untuk
prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha
untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar
(setelah pajak), sehingga membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif
berbisnis.[29]
Dari
apa yang dikemukakan sebelumnya dapat dipahami bahwasanya parameter prinsip
keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan
yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara terhadap tindakan
semena-mena penguasa dalam pemungutan pajak tersebut itu sendiri.
III.
Penutup
Bertitik tolak dari apa yang telah ditulis diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Bahwa dengan diakomodasinya
pemerataan dan perlakuan yang sama serta adanya jaminan perlindungan bagi warga
negara dari tindakan semena-mena penguasa dalam penyusunan undang-undang
perpajakan merupakan parameter telah dilaksanakannya prinsip keadilan dalam
pemungutan pajak;
2.
Prinsip
keadilan dalam pajak adalah abstak dan subjektif, untuk itu pemerintah
cenderung bertindak sewenang-wenang tanpa melihat prospek usaha dari wajib
pajak yang notabene sangat mempengaruhi perekonomian bangsa Indonesia dan
kesejahteraan warna negara Indonesia;
IV.
Saran
1. Pemerintah harus segera memperbaiki peraturan
perundang-undangan tentang perpajakan agar lebih bisa mewujudkan prinsip
keadilan;
2. Pemerintah harus memberikan keringan pajak untuk
pengusaha agar para pengusaha memiliki gairan untuk meningkatkan usaha yang
akan berdampak pula pada kemajuan bangsa Indonesia;
[1] Undang-undang dasar 1945
[2] Satjipto Rahardjo Biarkan
Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta,
Penerbit Buku Kompas,
hal.80-81.
[3] Achmad Ali,Menguak
Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, PT.
Toko Gunung Agung Tbk. 2002, hal. 84
[5] Op.Cit. Hal. 84
[6] Ibid, Hal. 84
[7] (http://www.pemantauperadilan.com
diakses tanggal 1 Desember 2014),
[8] Op. Cit. Mertokusumo
dan Pitlo, 1993.
[9] Rosdiana, Haula
dan Rasin Tarigan, 2005, Perpajakan, Teori dan Aplikasi, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada,
hal.119.
[10] Ibid,hal.121
[11] http://id.wikipedia.org diakses
tanggal 1 Desember 2014)
[12] Harian Bisnis Indonesia, tanggal 17
Oktober 2005
[13] Rochman Soemitro dan Dewi
Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi, Bandung, PT.
Refika Aditama.2004
[14] Ibid, hal.14
[15] Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar
Hukum Pajak ,Edisi Revisi, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2007, hal. 43.
[16] Op. Cit. Hal.115
[17] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum
Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak (Menurut UU Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak), Bandung, PT. Refika
Aditama,2006,hal.11
[18] Syofrin
Syofyan
dan Asyhar Hidayat, 2004, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung, PT. Refika Aditama.
[19]
Soemitro dan Dewi Kania
Sugiharti, Op. Cit. Hal.21
[20]
Wiratni Ahmadi, Op. Cit. Hal. 11
[21]
Ibid, hal. 11
[22]
Soemitro dan Dewi Kania
Sugiharti, Op. Cit. Hal.25
[23]
Widodo Ekatjahjana,
Pengujian Peraturan Perundang-undangan Menurut UUD 1945, Bandung, Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, 2007, hal. 114-115.
[24]
Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit. Hal.40
[25]
Wiratni Ahmadi, Op. Cit. Hal.
10.
[26]
Miyasto,
Sistem Perpajakan Nasional dalam Era Ekonomi Global, Pidato Pengukuhan Guru
Besar, Semarang, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro,1997, hal. 9
[28] Yudha Bhakti, Penemuan Hukum Nasional
dan Internasional, Pancasila Sebagai Landasan Pengembangan Sistem Hukum Pajak
Indonesia, Fikahati aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012. Hal. 103
[29] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar