Jual
Beli Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Bawah Tangan
I.
Pendahuluan
Manusia membutuhkan tanah
dalam kehidupannya, maka tidak heran harta tanah menjadi sangat mahal bahwakan
tidak sedikit orang beranggapan membeli tanah adalah menabung untuk masa depan dan
investasi yang harganya akan selalu naik dari tahun ke trahun.
Masyarat kita memperoleh hak
atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak melalui jual beli.
Menurut Boedi Harsono, dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual-bei,
hibah tukar menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli
dalam hukum tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara
tunai.[1]
Pengertian jual beli sendiri
menurut Peraturan Pelaksana dari UUPA yaitu PP No. 10 tahun 1961 yang telah
diperbaharui dengan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, jual beli
adalah perbuatan hukum pengalihan hak untuk selama-lamanya yang bersifat tunai.
PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sendiri menentukan bahwa jual
beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37 ayat
(1) PP No. 24/ 1997 yang berbunyi;
”Peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
tukar-menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan
hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Hal ini juga diperkuat
dengan pasal 2 ayat (1) PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPPAT) yang berbunyi sebagai berikut:
”PPAT
bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat
akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengena hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu”.
Bahwa dari aturan hukum
tersebut diatas maka jual beli tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Hal tersebut sebagai bukti bahwa telah dilakukannya jual
beli hak atas tanah dan selanjut PPAT membuat Akta Jual Belinya yang kemudian
dilanjutkan dengan pendaftarannya ke Kantor Pertanahan Setempat sesuai dengan
lokasi tanah.
Namun tidak dapat dipungkiri
di desa-desa masih banyak masyarakat yang melakukan jaul beli tanah tanpa
campur tangan PPAT jadi jual beli tersebut hanya dilakukan antara pembeli
dengan penjual dan ditutup dengan saling berjabat tangan maka detik itu juga
tanah tersebut telah beralir kepemilikannya. Jual beli tersebut lazim disebut
jual beli bawah tangan yang hanya didasarkan pada kepercayaan semata. Jual beli
bahwa tangan terkadang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi sebagai bukti
telah terjadinya jual beli dan tidak sedikit pula kwitansi yang menjadi bukti
tersebut hilang karena sudah terlalu lama disimpan sehingga tidak tahu lagi
keberadaannya. Selain kwitansi bukti kepemilikan atas tanah tersebut adalah
setipikat yang masih atas nama pemilik yang lama (penjual). Hal tersebut sering
menimbulkan masalah dalam proses hendak akan dilakukan balik nama, seperti
pihak penjual telah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi berdomisili
dimana, dan bisa juga penjual beritikad buruk menyatakan sertipikat atas
namanya telah hilang dan dimohonkan sertipikat pengganti dengan alasan
setipikat yang lama telah hilang, sehingga sertipikat pada saat pembeli akan
mengurus balik nama baru akan diketahui telah lahir sertipikat pengganti.
II.
Permasalahan
Status Jual Beli Tanah
Dengan Perjanjian Jual Beli Bawah Tangan.
III.
Pembahasan
Bahwa jual beli tentu tidak
selamanya dapat berjalan dengan lancar, adakalanya timbul hal-hal yang
sebenarnya diluar dugaan, dan biasanya persoalan ini timbul dikemudian hari,
salah satu contohnya adalah dalam perjanjian jual beli tanah dan bangunan
dimana salah satu pihak (dalam hal ini penjual) melakukan wanprestasi.
Wanprestasi dalam perjanjian
jual beli berarti tidak dipenuhinya kewajiban yang telah ditetapkan dalam
perjanjian pengikatan jual beli yang telah dibuat sebelumnya, misalkan tidak
didaftarkanya proses pembuatan sertipikat tanahnya oleh penjual.
Perjanjian jual beli adalah
suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik
atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah
uang sebagai harganya.[2]
Untuk terjadinya sutau
perjanjian adalah apabila kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang
barang dan harganya. Pihak penjual mempunyai dua (2) kewajiban pokok yaitu pertama menyerahkan
barangnya serta menjamin pihak pembeli memiliki barang itu tanpa ada gangguan
dari pihak lain dan kedua bertanggung
jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Sedangkan pihak pembeli wajib
membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan[3]. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1513 KUH Perdata menyatakan bahwa "kewajiban utama pembeli ialah
membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana
ditetapkan menurut perjanjian."
Pelaksanaan jual beli tanah
dimana kedua belah pihak yaitu antara penjual dan pembeli, telah terjadinya
kesepakatan dan setuju mengenai benda dan harga, Si Penjual menjamin kepada
pembeli, bahwa tanah yang akan dijual tersebut, tidak akan mengalami, sengketa,
kepada pembeli, sedangkan pembeli menyanggupi untuk membayar sejumlah harga
yang telah disepakati bersama.
Salah satu sifat yang
penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “Obligatoir” saja, artinya jual
beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada
kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut
diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari
Pasal 1459 KUH-Perdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang
dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum
dilakukan (menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan).[4]
Berbeda dengan jual beli
menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat, dimana apa yang
dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan
perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :[5]
1.
Harus bersifat tunai,
artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual
beli yang bersangkutan.
2.
Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak
tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas
obyek perbuatan hukum.
3.
Bersifat riil atau nyata,
artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan hak tersebut, maka akta tersebut
menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut.
Prestasi dalam perjanjian
pengikatan jual beli biasanya berbentuk segala sesuatu yang menjadi kewajiban
untuk dipenuhi oleh masing-masing pihak. Apabila perjanjian pengikatan jual
beli yang dilanjutkan dengan jual beli akan dilaksanakan setelah sertipikat telah
selesai dan didaftarkan atas nama penjual, maka prestasi penjual adalah segera melakukan
pengurusan sertipikat tanah tersebut agar jual beli dapat segera dilakukan.
Berdasarkan perbincangan
dengan Bapak Saleh, proses balik nama tidak dapat dilaksanakan, pada kantor
pertanahan, jika pengalihan hanya dilakukan secara dibawah tangan, karena
menurut beliau, belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga perlu
dibuatkan suatu Akta.[6]
Kekuatan pembuktian suatu
akta harus memenuhi tiga unsur yakni, kekuatan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian
formil, dan kekuatan pembuktian materiel.[7] Yang dimaksud dengan
ketentuan pembuktian lahir yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas
keadaan lahir, yaitu surat (akta) yang tampak dianggap mempunyai kekuatan,
sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
Disini dapat diketahui bahwa
kekuatannya dilihat dari bentuk akta luarnya saja, dan tidak dilihat
keseluruhan akta itu, apabila hal ini kita kaitkan dengan alat bukti yang dikemukakan
dalam persidangan yakni berupa perjanjian pengikatan jual beli maka jelas di dalam
perjanjian tersebut, para pihak telah saling membubuhkan tanda tangan pada
akhir perjanjian dan paraf pada setiap lembar perjanjian, artinya syarat
pembuktian “lahir” suatu akta cukup terpenuhi.
Kekuatan pembuktian formil
menyangkut pertanyaan “Benarkah bahwa ada pernyataan?” kekuatan pembuktian
formil ini didasarkan atas benar adanya akta itu adalah pernyataan dari mereka
yang menandatangani akta tersebut. Kekuatan pembuktian formil ini memberikan
kepastian tentang peristiwa bahwa para pihak menyatakan dan melakukan apa yang
dimuat dalam akta pembuktian lahir dari akta perjajnjian pengikatan jual beli
cukup terbukti.
Bahwa pembuktian terhadap
akta jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dapat dibuktikan dalam persidangan, sehingga perlu adanya perlindungan terhadap
pembeli apabila penjual waprestasi, tentu membawa konsekuensi hukum yaitu:
1.
Adanya kewajiban denda yang harus dibayar
atas kerugian materiel yang diderita pembeli, kerugian ini dapat berupa kerugian
yang benar-benar dialami seperti uang muka yang telah dibayar, bunga yang telah
diperjanjikan, atau keuntungan yang seharusnya diperoleh.
2.
Objek yang diperjanjikan dapat menjadi
jaminan, bahwa penjual harus memenuhi terlebih dahulu kewajibannya, kemudian
sita jaminan dapat dihapuskan, sita jaminan ini atau para pihak sebelum
dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak.
Sebagaimana telah diuraikan
di atas bahwa untuk terjadinya jual beli tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) harus bersifat final, baik syarat formal maupun materiilnya, untuk
syarat formal biasanya telah dipenuhinya persyaratan kelengkapan surat-surat
(sertifikat, dan lainnya) yang menjadi bukti hak atas tanah.
Syarat materiil seperti
harus lunasnya harga jual beli, sedangkan untuk tidak atau belum terpenuhinya
kedua syarat tersebut, maka perjanjian pengikatan jual belilah yang biasanya
dijadikan tujuan (landasan) terjadinya permulaan jual beli yang digunakan
sebagai perjanjian pendahuluan sementara menunggu dipenuhinya syarat untuk
perjanjian pokoknya yaitu jual beli di hadapan PPAT. Namun demikian, jual beli
yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah.
Meskipun hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku yaitu UUPA dan PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jual beli
yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah
meskipun hanya berdasarkan kwitansi. Hal itu didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor 126.K/Sip/ 1976 tanggal 4 April 1978 yang memutuskan bahwa :
“Untuk
sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”.
Selain itu, menurut pendapat
Boedi Harsono, jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) tetap sah, jadi hak miliknya berpindah dari si penjual kepada si
pembeli, asal saja jual beli itu memenuhi syarat-syarat materiil (baik yang
mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya).[8]
Sangat dimungkinkan terjadi
pertentangan antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961,
yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan
harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah
tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat dan
sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP
No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan
PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta oleh PPAT. Dengan demikian telah terjadi
saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum
perundang-undangan.
Tidak selamanya asas Statue
Law Prevail atau undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi
ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan
Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasuistis, yurisprudensi yang
dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang
terjadi. Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap
suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan;
1)
Didasarkan pada alasan kepatutan dan
kepentingan umum.
Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan
bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya
dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan
”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara
cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang
bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya
terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan
undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang
terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa
modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undangundang.
2)
Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra
Legem”
Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi
secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan
kelayakan dan perlindungan kepentinganumum, dibandingkan suatu ketentuan pasal
undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi. Berbarengan dengan
itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap
pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan. Disebabkan nilai bobot
yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya
keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang undang yang disuruh mundur
dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan
sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.
3)
Yurisprudensi dipertahankan dengan
melenturkan peraturan perundang-undangan.
Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya
peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :
a.
Tetap mempertahankan nilai hukum yang
terkandung dalam yurisprudensi; dan
b.
Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal
perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi
fakultatif.[9]
Memang ada kemiripan cara
ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra
legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal
itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan
tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak
pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan
nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi
bersifat fakultatif
IV.
Penutup
Bahwa status Jual Beli tanah yang dilakukan
tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah tetap sah berdasarkan kwitansi
Jual Beli. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126.K/Sip/
1976 tanggal 4 April 1978 yang memutuskan bahwa :
“Untuk
sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat
bukti”.
Selain itu, jual beli yang tidak dibuat
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah, jadi hak miliknya
berpindah dari si penjual kepada si pembeli, asal saja jual beli itu memenuhi syarat-syarat
materiil (baik yang mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya.
Penyelesaian yang dapat dilakukan oleh
pembeli, agar jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT dapat mempunyai
kekuatan hukum yang pasti dengan meminta Putusan Pengadilan Negeri yang
memberikan kepastian hukum kepada pembeli sebagai pemilik yang sah atas tanah
dan bangunan diatasnya.
[1]
Harun Al-Rashid, sekilas Tentang
Jual-Beli Tanah Berikut Peraturan-peraturannya, Jakarta; Ghalia Indonesia,
1986, h. 51
[3]
Loc.
it
[4]
R. Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta,
PT. Intermas, 1998, hal.
[5] Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan
Hukum
Tanah,Jakarta: Djambatan, 2002, hal. 317
[6]
Perbincangan dengan Bapak Saleh, Legal BPN Kota Tengerang Selatan, Pada
Pengadilan Tata Usaha Negara Serang,
[7]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1977, hal. 107
[8]
Saleh adiwinata, Bunga Rampai Hukum
Perdata dan Tanah 1, Cetakan Pertama (Jakarta: Raja Grafindo, 1984),hal79-80
[9]
Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif
Pembangunan Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, 1995, hal. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar