Selasa, 27 September 2016



Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Nyata sebagai Alasan PK

Salah satu alasan PK yang terdapat dapat dalam pasal 67 huruf f UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 tahun 2004 jo. UU No. 3 tahun 2009 Tentang MA yaitu “jika dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.

Apa Yang Di maksud Kekhilafan Hakim dan Kekeliruan Nyata tersebut?

I.                    Menurut Pendapat Para Ahli Hukum (Doktrin)

Sejumlah akademisi dan praktisi sebenarnya sudah memberikan pendapat mereka mengenai anasir kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. M. Yahya Harahap berpendapat, memasukkan sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan hukum termasuk dalam lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Adami Chazawi menyebutkan ada beberapa hal atau keadaan yang masuk lingkup Kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata, yaitu sebagai berikut:
1.       pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum.
2.       amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum.
3.       putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht).
4.       pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut.
Jadi menurut doktrin di atas, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata cenderung dianggap sama dan dalam satu rangkaian.

II.                 Menurut Pandangan Dari Sisi hakim

Menurut pendapat sejumlah hakim agung dan direktur perdata, bahwa kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata adalah dua alasan permohonan PK yang tidak identik atau berbeda penerapannya. Hakim agung Djafni Djamal, misalnya mengatakan kekhilafan hakim itu lebih pada penerapan hukum materiil, sedangkan kekeliruan nyata lebih pada hukum acara.

Meskipun ada pendapat hakim agung dan direktur perdata, namun dalam faktanya belum jelas batasan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata tersebut, seringkali keduanya ditafsirkan sama oleh Hakim Agung dalam pertimbangan hukum untuk menerima permohonan PK. Dengan demikian kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata memiliki lingkup yang sangat luas, tak hanya hukum formiil tetapi juga hukum materiil. Praktik demikian bisa jadi muncul karena frasa ‘kekhilafan hakim’ dan ‘kekeliruan yang nyata’ cenderung similar alias sama arti.

III.          Penggunaan dalam Praktik

Bahwa Pasal 67 huruf f tidak memberikan penjelasan lebih lanjut makna kedua frasa itu, Apakah maksudnya sama atau tidak, pembentuk undang-undang sendiri hanya menyebut/ memberikan penjelasan ‘cukup jelas’. 
Jika menggunakan penafsiran otentik hanya diperoleh pengertian bahwa jika alasan PK atas dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata hanya ditujukan terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa dengan menggunakan penafsiran gramatika, maka diperoleh kepastian alasan mengajukan PK itu bersifat alternatif karena ada kata ‘atau’. Bahwa frasa ‘kekhilafan hakim’ berarti yang khilaf adalah hakim. Hakim khilaf secara tidak sengaja dan cenderung tidak terlihat. Sebaliknya, ‘kekeliruan yang nyata’ berarti kesalahan atau kekeliruan itu telah nyata, terang, atau jelas terlihat.
Selain menggunakan penafsiran tersebut diatas, biasanya Para pemohon PK juga menggunakan legal reasoning yang berbeda-beda ketika mendasarkan permohonannya atas dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, yaitu sebagai berikut:
1)     pemohon yang menggunakan dasar itu secara bersamaan atau satu kesatuan dan berkaitan dengan adanya kekeliruan atau kekhilafan dalam penerapan hukum. Misalnya, putusan PK No. 8 PK/Pdt/2014.
2)     lasan itu dipakai secara bersamaan atau satu kesatuan dan berkaitan dengan adanya kekeliruan dalam pertimbangan hukum. Misalnya, putusan MA No.41 PK/Pdt/2014.
3)     dipakai bersamaan untuk merangkai fakta persidangan. Misalnya, putusan MA No. 715 Pk/Pdt/2011.
4)     dipakai dalam kasus kesalahan pengetikan atau penulisan dalam putusan. Misalnya, putusan MA No. 329 PK/Pdt/2013.
5)     menggunakan alasan-alasan lain dalam putusan hakim. Misalnya, putusan No. 156 PK/Pdt.Sus/2012.


IV.                Kesimpulan

bahwa kesimpulannya adalah ada yang ‘tidak beres’ pada penormaan dan praktik alasan PK berupa ‘kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sehingga menyarankan tiga hal;
1.       perlu diberikan batasan atau ketegasan agar penafsiran kedua frasa tidak semakin meluas sehingga menimbulkan ketidakpastian.
2.       pembatasan bisa dilakukan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai ruang lingkup penerapan Pasal 67 huruf f UUMA.
3.       ke depan perlu dipikirkan kembali penggunanaan ‘kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata’ sebagai alasan PK.


PENGAMPUAN

I.                    Syarat  Pengampuan.
Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata, adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dalam pasal 433 KUHPerdata yaitu;
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan".
Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka orang yang wajib ditempatkan di bawah pengampuan adalah orang yang telah dewasa, yang berada dalam keadaan:
a.       Dungu (onnozelheid),
b.       Sakit ingatan (krankzinnigheid)
c.       Mata gelap (razerj)
Orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan dan mata gelap, tetapi orang tersebut kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya, wajib berada di bawah pengampuan.
Apakah kepikunan diakibatkan usia lanjut dapat dimohonkan Pengampuan?
Bahwa menurut Pendapat Majelis Hakim Pengadilan Administrasi Asutralia Barat dalam perkara Prof. Sudarto Gautama menjelaskan, Kepikunan diakibatkan usia lanjut merupakan bagian dari ketidakmampuan mental sehingga tidak dapat membuat suatau keputusan yang masuk akal sehubungan dengan hartanya, untuk itu orang tersebut perlu seorang administrator.
Menurut pendapat Surini Ahlan Sjarief yang merupakan dosen hukum perdata Universitas Indonesia, yang sudah pikun diakibatkan karena usia lanjut sangat mungkin dimohonkan pengampuan atas dirinya dan orang yang mengalami penurunan daya ingat karena pikun serta mempunyai kekayaan yang berlebihan bila tidak ditaruh di bawah pengampuan dia akan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tetapi tingkat kepikunan itu berbeda-beda, sama halnya dengan syarat gila, maka untuk menetukan kadar kepikunan atau kegilaan dan keborosan seseorang hakim perlu mendengarkan keterangan saksi dan ahli.
II.                  Pihak Yang Berhak Meminta dan Ditetapkan Sebagai Pemegang Hak Pengampuan.

Menurut pasal 434 KUHPerdata menjelaskan secara jelas bahwa, setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap dan untuk keadaan boros/pemborosan, pengampuan hanya dapat dimintakan oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat ke-4, serta barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.
Jadi berdasarkan pasal 434 KUHPerdata tersebut di atas, tidak semua orang dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan pihak yang berhak meminta dan ditetapkan sebagai pemegang Hak pengampuan adalah:
1.       Dirinya sendiri, dengan alasan lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik.
2.       Setiap keluarga sedarah, dengan berdasarkan dungu, gila atau mata gelap.
3.       Keluarga sedarah dalam garis lurus dan garis ke samping derajat ke-4, dengan berdasarkan alasan Boros/pemborosan.

III.               Pasal-pasal Yang Mengikat Para Hakim Dalam Menetapkan Seseorang Diletakkan Pengampuan.

Pasal 438 KUHPerdata;
Bila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda.

Pasal 439 KUHPerdata:
Pangadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.

Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.

Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah.

Pasal 440 KUHPerdata:

Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka Pengadilan dapat memberi keputusantentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.

Pasal 441 KUHPerdata;
Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya.

Pasal 442 KUHPerdata;
Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan Jaksa.

Jika Pasal-pasal tersebut di atas tidak diterapkan oleh Pengadilan, maka penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, hal tersebut sejalan dengan perkara penetapan pengampuan Prof. Sudarto Gautama yang telah dibatalkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI.

IV.                Berakhirnya Pengampuan
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan dalam bukunya yang berjudul Hukum Orang dan Keluarga, Pengampuan dalam berakhir dengan 2 alasan yaitu:
1.       Alasan absolut
a.       Curandus (orang yang diletakan di bawah Pengampuan) meninggal dunia.
b.       Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa sebab-sebab dan alasan-alasan di bawah pengampuan telah hapus.
2.       Secara Relatif
a.       Curator (sebagai pemegang hak Pengampuan) meninggal dunia.
b.       Curator dipecat atau dibebaskantugaskan.
c.       Suami diangkat sebagai curator yang dahulunya berstatus sebagai curandus (dahulu berada di bawah pengampuan curator karena alasan-alasan tertentu).

V.                  Kesimpulan.
-          Kepikunan akibat usia lanjut dapat dimohonkan Pengampuan ke Pengadilan, karena kepikunan akibat usia lanjut merupakan bagian dari ketidakmampuan mental dan jika pihak yang diampu mempunyai kekayaan yang berlebihan bila tidak ditaruh di bawah pengampuan dia akan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
-          Pihak yang berhak meminta dan ditetapkan sebagai pemegang Hak Pengampuan adalah;
a)       Dirinya sendiri, dengan alasan lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik.
b)     Setiap keluarga sedarah, dengan berdasarkan dungu, gila atau mata gelap.
c)      Keluarga sedarah dalam garis lurus dan garis ke samping derajat ke-4, dengan berdasarkan alasan Boros/pemborosan.

Jumat, 19 Agustus 2016



MELAKUKAN PENGANIAYAAN, DAPATKAH GURU DIPIDANA

Bahwa berdasarka Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”), seorang anak yang berada dibawah pelindungan pihak yang bertanggungjawab atas pengasuhaanya, berhak mendapat perlindungan dari perlakukan yang salah satunya PENGANIAYAAN.

Guru yang melakukan penganiayaan kepada muridnya dapat dikenakan Pasal 76C UU 35/2014 jo. Pasal 80 UU 35/2014 tentang Perlindungan anak.
Tetapi apakah guru yang melakukan penganiayaan karena murid melanggar peraturan sekolah dapat dipidana?
Bahwa sesuatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, haruslah terpenuhi 2 unsur yaitu adanya unsur actus reus (physical element) atau perbuatan yang dilakukan dan unsur mens rea (mental element) sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.

Seorang guru yang melakukan penganiayaan terhadap murid yang melanggar peraturan sekolah dapat sanksi pidana sesuai dengan Pasal 76C UU 35/2014 jo. Pasal 80 UU 35/2014 tentang Perlindungan anak, sehingga actus reus  dalam perbuatan tersebut telah terpenuhi.

Menurut Prof. Sudarto,S.H., seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Kenapa? Karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.

Dengan demikian seorang guru yang melakukan penganiayaan kepada muridnya yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah, maka perbuatan guru tersebut telah bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum sebagaimana Pasal 76C UU 35/2014 jo. Pasal 80 UU 35/2014 tentang Perlindungan anak, namun apakah perbuatan guru tersebut dapat di pidana?

Jika kita hubungankan dengan teori pemidanaan, maka guru tersebut telah memenuhi unsur actus reus (perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum), tetapi belum tentu guru tersebut telah memenuhi unsur mens rea (niat atau maksud tujuan), karena guru tersebut melakukan perbuatan penganiayaan bukan bertujuan untuk menyakiti tetapi dengan tujuan/niat untuk mendidik siswanya agar menjadi anak yang patuh terhadap aturan dan memiliki kedisiplinan. Di sekolah para guru adalah sosok orang tua yang diamanatkan untuk mendidik anak-anak agar anak-anak tersebut bisa menjadi generasi penerus bangsa.

Jika kita melihat dari sisi agama Islam, orang tua dalam mendidik anak boleh untuk memukul anak tersebut dengan tujuan bukan untuk menyakiti tetapi untuk mendidik.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).”


Kesimpulan:
Bahwa dari uraian di atas, maka menurut pendapat saya seorang guru yang melakukan penganiayaan terhadap murid yang melanggar peraturan sekolah, tidak bisa di pidana karena apa yang dilakukan oleh guru didasarkan pada niat/ tujuan untuk mendidik bukan untuk menyakiti, walaupun dilihat dari perbuatannya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang atau bersifat melawan Undang-undang.