Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Nyata
sebagai Alasan PK
Salah satu alasan PK yang
terdapat dapat dalam pasal 67 huruf f UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 tahun
2004 jo. UU No. 3 tahun 2009 Tentang MA yaitu “jika dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata”.
Apa Yang Di maksud Kekhilafan
Hakim dan Kekeliruan Nyata tersebut?
I.
Menurut
Pendapat Para Ahli Hukum (Doktrin)
Sejumlah
akademisi dan praktisi sebenarnya sudah memberikan pendapat mereka mengenai
anasir kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. M. Yahya Harahap
berpendapat, memasukkan sesuatu yang tidak memenuhi ketentuan hukum termasuk
dalam lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Adami
Chazawi menyebutkan ada beberapa hal atau keadaan yang masuk lingkup Kekhilafan
hakim atau kekeliruan nyata, yaitu sebagai berikut:
1.
pertimbangan
hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan
norma hukum.
2.
amar putusan
yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum.
3.
putusan
peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling)
maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht).
4.
pengadilan
telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak
pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut.
Jadi menurut
doktrin di atas, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata cenderung dianggap
sama dan dalam satu rangkaian.
II.
Menurut
Pandangan Dari Sisi hakim
Menurut pendapat
sejumlah hakim agung dan direktur perdata, bahwa kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata adalah dua alasan permohonan PK yang tidak identik atau
berbeda penerapannya. Hakim agung Djafni Djamal, misalnya mengatakan kekhilafan
hakim itu lebih pada penerapan hukum materiil, sedangkan kekeliruan nyata lebih
pada hukum acara.
Meskipun ada pendapat hakim agung dan direktur perdata, namun dalam faktanya belum jelas batasan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata tersebut, seringkali keduanya ditafsirkan sama oleh Hakim Agung dalam pertimbangan hukum untuk menerima permohonan PK. Dengan demikian kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata memiliki lingkup yang sangat luas, tak hanya hukum formiil tetapi juga hukum materiil. Praktik demikian bisa jadi muncul karena frasa ‘kekhilafan hakim’ dan ‘kekeliruan yang nyata’ cenderung similar alias sama arti.
III. Penggunaan dalam Praktik
Meskipun ada pendapat hakim agung dan direktur perdata, namun dalam faktanya belum jelas batasan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata tersebut, seringkali keduanya ditafsirkan sama oleh Hakim Agung dalam pertimbangan hukum untuk menerima permohonan PK. Dengan demikian kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata memiliki lingkup yang sangat luas, tak hanya hukum formiil tetapi juga hukum materiil. Praktik demikian bisa jadi muncul karena frasa ‘kekhilafan hakim’ dan ‘kekeliruan yang nyata’ cenderung similar alias sama arti.
III. Penggunaan dalam Praktik
Bahwa Pasal
67 huruf f tidak memberikan penjelasan lebih lanjut makna kedua frasa itu,
Apakah maksudnya sama atau tidak, pembentuk undang-undang sendiri hanya
menyebut/ memberikan penjelasan ‘cukup jelas’.
Jika menggunakan
penafsiran otentik hanya diperoleh pengertian bahwa jika alasan PK atas dasar
kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata hanya ditujukan terhadap putusan
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa dengan
menggunakan penafsiran gramatika, maka diperoleh kepastian alasan mengajukan PK
itu bersifat alternatif karena ada kata ‘atau’. Bahwa frasa ‘kekhilafan hakim’
berarti yang khilaf adalah hakim. Hakim khilaf secara tidak sengaja dan
cenderung tidak terlihat. Sebaliknya, ‘kekeliruan yang nyata’ berarti kesalahan
atau kekeliruan itu telah nyata, terang, atau jelas terlihat.
Selain
menggunakan penafsiran tersebut diatas, biasanya Para pemohon PK juga
menggunakan legal reasoning yang berbeda-beda ketika mendasarkan
permohonannya atas dasar kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, yaitu
sebagai berikut:
1)
pemohon yang
menggunakan dasar itu secara bersamaan atau satu kesatuan dan berkaitan dengan
adanya kekeliruan atau kekhilafan dalam penerapan hukum. Misalnya, putusan PK
No. 8 PK/Pdt/2014.
2)
lasan itu
dipakai secara bersamaan atau satu kesatuan dan berkaitan dengan adanya
kekeliruan dalam pertimbangan hukum. Misalnya, putusan MA No.41 PK/Pdt/2014.
3)
dipakai
bersamaan untuk merangkai fakta persidangan. Misalnya, putusan MA No. 715
Pk/Pdt/2011.
4)
dipakai
dalam kasus kesalahan pengetikan atau penulisan dalam putusan. Misalnya,
putusan MA No. 329 PK/Pdt/2013.
5)
menggunakan
alasan-alasan lain dalam putusan hakim. Misalnya, putusan No. 156
PK/Pdt.Sus/2012.
IV.
Kesimpulan
bahwa kesimpulannya adalah ada yang ‘tidak beres’ pada penormaan dan praktik alasan PK berupa ‘kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sehingga menyarankan tiga hal;
1.
perlu
diberikan batasan atau ketegasan agar penafsiran kedua frasa tidak semakin
meluas sehingga menimbulkan ketidakpastian.
2.
pembatasan
bisa dilakukan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai ruang
lingkup penerapan Pasal 67 huruf f UUMA.
3.
ke depan
perlu dipikirkan kembali penggunanaan ‘kekhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata’ sebagai alasan PK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar