Kamis, 16 Juni 2016

HARMONISASI PENERAPAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HARMONISASI PENERAPAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA
I.                    PENDAHULUAN
Pejabat pemerintah baik pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif[1] saat ini sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena kewenangan pejabat-pejabat pemerintah kewenangannya sekarang ini sudah distrandarisasikan oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-undang Administrasi Pemerintahan menurut penulis sangatlah diperlukan karena selama 68 tahun sejak merdeka, negara kita belum memiliki payung hukum (unbrella act) atau undang-undang yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggara pemerintahan, sehingga belum optimahnya fungsi kontrol yudisial (judicial control) yang dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain sisi tidak dapat mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.

UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjadi dasar dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang baik karena dalam UU No. 30 tahun 2014 menguat secara jelas Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) pada Bagian Ke-3 (tiga) UU No. 30 tahun 2014 pasal 10[2], sehingga sangat wajar dan patut UU No. 30 tahun 2014 menjadi hukum materiil[3] dari Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi hukum acaranya.

Hubungan yang erat antara Hukum materiil yang memuat dan mengatur masalah pokok dan dasar bagi hukum untuk berjalannya roda pemerintahan dan berlaku secara umum dengan Hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut melalui Peradilan Tata Usaha Negara, maka sudah seharusnya ada keharmonisan antara kedua peraturan tersebut, sehingga apa yang dimuat dalam UU No. 30 tahun 2014 tersebut dapat diberlakukan secara efektif dalam masyarakat.[4]

Bahwa dari apa yang penulis uraikan diatas maka penulis akan coba membahas hormonisasi antara UU Administrasi Pemerintah dan UU Peradilan Tata Usaha Negara.

II.                  PEMBAHASAN
Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) memberikan landasan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara  dalam menguji sengketa tata usaha negara. UU AP ini akan mempermudahkan bagi hakim-hakim Peratun dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.
UU AP ini dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari melayani masyarakat, karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara lengkap dalam suatu undang-undang yang khusus diadakan untuk itu, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004, terakhir dilakukan perubahan dengan UU No. 51 tahun 2009 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi negara. Dalam prakteknya di Pengadilan Tata Usaha Negara sering kali ditemui hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya tidak diatur dalam Undang-undang Peratun, sehingga jalan keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada asas-asas pemerintahan yang baik dan pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Salah satu elemen yang diatur dalam UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur administrasi pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota masyarakat lainnya dalam satu administrasi pemerintah. Keputusan tersebut dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Konstruksi tentang definisi KTUN kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU AP ini secara signifikan memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU AP, yakni pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 UU AP:

pasal 1 ayat (7) yang berbunyi:
keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Kalau kita perhatikan pasal di atas maka pasal tersebut menunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN yakni hanya menggunakan 3 kriteria saja yakni berupa;
1.       Ketetapan tertulis
2.       Dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan
3.       Ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Sedangkan definisi KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni berupa;
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yng bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Jadi menurut UU No. 51 tahun 2009, definisi KTUN jauh lebih sempit dibandingkan dengan UU AP karena KTUN dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni  mensyarakat harus berupa penetapan tertulis dan penetapan tersebut bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 UU AP berbunyi;
“dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 harus dimaknai sebagai berikut:
a.      Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas;
e.       Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat;
Penjelasan Pasal 87 UU AP;
“huruf (d) yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang”.
Kesimpulan dari pasal 87 UU AP adalah;
1.       UU AP tidak secara tegas menghapus definis KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009. Namun menurut pasal 87 ini, ketentuan/ definisi KTUN tersebut memiliki makna baru yakni pemaknaan yang lebih luas yaitu berupa;
a.       Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau Pejabat Tata Usah Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas
e.      Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat
2.       Pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa pasal 1 angka 7 UU AP tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009, mengingat kriteria-kriteria tersebut masih diakui eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.
3.       Kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 mengalami revitalisasi, yakni:
i)                    Penetapan tertulis,
Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan,namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam tindakan faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum (rech handelingen) dalam bentuk diterbitkannya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan/ atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/ nyata yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
ii)                   Dimasukkannya tindakan faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai objek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 angka (9) disebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak  jelas dan/ atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut?

Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka marilah kita lihat pasal 31 UU AP disebutkan:
“akibat hukum dari penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan”.

Dalam kontek pembatalan produk diskresi inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sedangkan apabila kita menggunakan kriteria KTUN menurut UU No. 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Peradilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada menguji terhadap keputusan TUN (beschikking).

Jadi artinya, setelah adanya UU AP pasal 87 maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/ OOD (onrechmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
iii)                 Keputusan badan dan/ atau pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
Pasal 87 UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di Peradilan TUN.
Selama ini berdasarkan pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya berapa di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah Komando Panglima TNI.

Artinya setelah adanya UU AP pasal 87 maka pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 harus dikeluarkan dari Pengecualian sebagai KTUN, karena saat ini TNI murni di bawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaran pemerintahan dibidang pertahanan, maka setiap KTUN yang diterbitkan dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di Peradilan TUN, sepanjang belum terbentuknya Peradilan TUN khusus untuk TNI.

Mungkin ini adalah bukti bahwa semangat demokrasi dan penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, tanpa kecuali di kalangan TNI.

iv)                 Terkait masalah “Keputuan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum”.
Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim Peradilan TUN dalam mengkostruksikan kerugikan hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata.

Namun dengan adanya klausula “berpotensi menimbulkan akibat hukum” sebagaimana di dalam pasal 87 UU AP, menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di Peradilan TUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat digugat di Peradilan TUN. Hal ini berkaitan dengan kriteria KTUN yang memiliki relevansi dengan diaturnya tindakan faktual/nyata dalam hal ini dalam bentuk diskresi dalam UU AP.

v)                  Terkait masalah “Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat”.
Klausula diatas menambah makna baru dari segi individual dalam kriteria sebauh KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.

Menurut pasal 1 angka (15) UU AP, warga masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau tindakan.

Secara teks tampak tidak ada perubahan baru antara definisi warga masyarakat sebagaimana diatur dalam UU AP dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah “seseorang atau badan hukum perdata” . Namun hilangnya redaksi “individual” baik dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi warga masyarakat secara keseluruhan.

Jika kita hubungkan antara klausula “ keputusan berlaku bagi warga masyarakat”  dengan klausula “menimbulkan akibat hukum” , maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke Peradilan TUN. Sehingga terbukanya gugatan kelompok (gugatan Class action).

III.                KESIMPULAN
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara semakin luas sehingga tidak ada lagi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya selama ini tidak diatur dalam Undang-undang Peratun.

Bahwa dengan disahkannya UU AP maka sekarang ini yang menjadi objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tidak hanya berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tetapi juga tindakan faktual/ nyata yang produknya berupa diskresi dari Pejabatan TUN maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sehingga dengan lahirnya UU AP sangat membantu dalam penerapan UU Peradilan Tata Usaha Negara.



[1] UU No. 30 tahun 2014, pasal 87
[2] Ibid, Pasal 10
[3] Ibid, Penjelasan umum
[4] Ujang Abdullah, Reformasi Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Berkaitan Dengan Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintah.,hl. 1.,
I.                    PENDAHULUAN
Pejabat pemerintah baik pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif[1] saat ini sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena kewenangan pejabat-pejabat pemerintah kewenangannya sekarang ini sudah distrandarisasikan oleh UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-undang Administrasi Pemerintahan menurut penulis sangatlah diperlukan karena selama 68 tahun sejak merdeka, negara kita belum memiliki payung hukum (unbrella act) atau undang-undang yang secara umum mengatur tentang sistem penyelenggara pemerintahan, sehingga belum optimahnya fungsi kontrol yudisial (judicial control) yang dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara, kurang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dan juga di lain sisi tidak dapat mengupayakan perlindungan kepentingan masyarakat secara maksimal.

UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjadi dasar dalam penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang baik karena dalam UU No. 30 tahun 2014 menguat secara jelas Asas-Asas umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) pada Bagian Ke-3 (tiga) UU No. 30 tahun 2014 pasal 10[2], sehingga sangat wajar dan patut UU No. 30 tahun 2014 menjadi hukum materiil[3] dari Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan diubah terakhir dengan UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi hukum acaranya.

Hubungan yang erat antara Hukum materiil yang memuat dan mengatur masalah pokok dan dasar bagi hukum untuk berjalannya roda pemerintahan dan berlaku secara umum dengan Hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut melalui Peradilan Tata Usaha Negara, maka sudah seharusnya ada keharmonisan antara kedua peraturan tersebut, sehingga apa yang dimuat dalam UU No. 30 tahun 2014 tersebut dapat diberlakukan secara efektif dalam masyarakat.[4]

Bahwa dari apa yang penulis uraikan diatas maka penulis akan coba membahas hormonisasi antara UU Administrasi Pemerintah dan UU Peradilan Tata Usaha Negara.

II.                  PEMBAHASAN
Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) memberikan landasan baru bagi Peradilan Tata Usaha Negara  dalam menguji sengketa tata usaha negara. UU AP ini akan mempermudahkan bagi hakim-hakim Peratun dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materiil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.
UU AP ini dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan kewajiban dari setiap administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari melayani masyarakat, karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara lengkap dalam suatu undang-undang yang khusus diadakan untuk itu, sedangkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004, terakhir dilakukan perubahan dengan UU No. 51 tahun 2009 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) apabila terjadi sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat administrasi negara. Dalam prakteknya di Pengadilan Tata Usaha Negara sering kali ditemui hakim mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya tidak diatur dalam Undang-undang Peratun, sehingga jalan keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada asas-asas pemerintahan yang baik dan pendapat para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Salah satu elemen yang diatur dalam UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari sebuah prosedur administrasi pemerintahan adalah keputusan administrasi yang memuat mengenai ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau anggota masyarakat lainnya dalam satu administrasi pemerintah. Keputusan tersebut dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Konstruksi tentang definisi KTUN kemudian mengalami perubahan signifikan setelah disahkannya UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU AP ini secara signifikan memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU AP, yakni pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 UU AP:

pasal 1 ayat (7) yang berbunyi:
keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan”.

Kalau kita perhatikan pasal di atas maka pasal tersebut menunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN yakni hanya menggunakan 3 kriteria saja yakni berupa;
1.       Ketetapan tertulis
2.       Dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan
3.       Ketetapan tersebut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Sedangkan definisi KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni berupa;
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yng bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Jadi menurut UU No. 51 tahun 2009, definisi KTUN jauh lebih sempit dibandingkan dengan UU AP karena KTUN dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni  mensyarakat harus berupa penetapan tertulis dan penetapan tersebut bersifat konkret, individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 UU AP berbunyi;
“dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 harus dimaknai sebagai berikut:
a.      Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas;
e.       Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat;
Penjelasan Pasal 87 UU AP;
“huruf (d) yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang”.
Kesimpulan dari pasal 87 UU AP adalah;
1.       UU AP tidak secara tegas menghapus definis KTUN menurut pasal 1 ayat (9) UU No. 51 tahun 2009. Namun menurut pasal 87 ini, ketentuan/ definisi KTUN tersebut memiliki makna baru yakni pemaknaan yang lebih luas yaitu berupa;
a.       Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b.      Keputusan badan dan/atau Pejabat Tata Usah Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya;
c.       Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB
d.      Bersifat final dalam arti lebih luas
e.      Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau
f.        Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat
2.       Pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa pasal 1 angka 7 UU AP tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009, mengingat kriteria-kriteria tersebut masih diakui eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah KTUN.
3.       Kriteria KTUN yang diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 mengalami revitalisasi, yakni:
i)                    Penetapan tertulis,
Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan,namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam tindakan faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata usaha negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum (rech handelingen) dalam bentuk diterbitkannya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan/ atau tindakan faktual (feitelijke handelingen). Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/ nyata yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
ii)                   Dimasukkannya tindakan faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai objek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang diskresi yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 angka (9) disebutkan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak  jelas dan/ atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi. Persoalannya kemudian bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa diskresi tersebut?

Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka marilah kita lihat pasal 31 UU AP disebutkan:
“akibat hukum dari penggunaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan”.

Dalam kontek pembatalan produk diskresi inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sedangkan apabila kita menggunakan kriteria KTUN menurut UU No. 51 tahun 2009 maka lingkup kewenangan (intra vires) Peradilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya terbatas pada menguji terhadap keputusan TUN (beschikking).

Jadi artinya, setelah adanya UU AP pasal 87 maka tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah/ OOD (onrechmatige overheidsdaad) secara hukum menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
iii)                 Keputusan badan dan/ atau pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya.
Pasal 87 UU AP memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di Peradilan TUN.
Selama ini berdasarkan pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN, yakni KTUN mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya berapa di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah Komando Panglima TNI.

Artinya setelah adanya UU AP pasal 87 maka pasal 2 huruf e UU No. 9 tahun 2004 harus dikeluarkan dari Pengecualian sebagai KTUN, karena saat ini TNI murni di bawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaran pemerintahan dibidang pertahanan, maka setiap KTUN yang diterbitkan dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di Peradilan TUN, sepanjang belum terbentuknya Peradilan TUN khusus untuk TNI.

Mungkin ini adalah bukti bahwa semangat demokrasi dan penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, tanpa kecuali di kalangan TNI.

iv)                 Terkait masalah “Keputuan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum”.
Selama ini berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim Peradilan TUN dalam mengkostruksikan kerugikan hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata.

Namun dengan adanya klausula “berpotensi menimbulkan akibat hukum” sebagaimana di dalam pasal 87 UU AP, menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di Peradilan TUN. Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN tersebut sudah dapat digugat di Peradilan TUN. Hal ini berkaitan dengan kriteria KTUN yang memiliki relevansi dengan diaturnya tindakan faktual/nyata dalam hal ini dalam bentuk diskresi dalam UU AP.

v)                  Terkait masalah “Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat”.
Klausula diatas menambah makna baru dari segi individual dalam kriteria sebauh KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN.

Menurut pasal 1 angka (15) UU AP, warga masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau tindakan.

Secara teks tampak tidak ada perubahan baru antara definisi warga masyarakat sebagaimana diatur dalam UU AP dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur dalam UU No. 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah “seseorang atau badan hukum perdata” . Namun hilangnya redaksi “individual” baik dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP menunjukkan bahwa semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU AP bukan semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga negara. UU AP memberikan kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks terkait pada individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal berlaku bagi warga masyarakat secara keseluruhan.

Jika kita hubungkan antara klausula “ keputusan berlaku bagi warga masyarakat”  dengan klausula “menimbulkan akibat hukum” , maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan gugatan ke Peradilan TUN. Sehingga terbukanya gugatan kelompok (gugatan Class action).

III.                KESIMPULAN
Bahwa dengan disahkannya UU AP maka kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara semakin luas sehingga tidak ada lagi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara apabila berhadapan dengan perkara yang hukum meteriilnya selama ini tidak diatur dalam Undang-undang Peratun.

Bahwa dengan disahkannya UU AP maka sekarang ini yang menjadi objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tidak hanya berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tetapi juga tindakan faktual/ nyata yang produknya berupa diskresi dari Pejabatan TUN maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berwenang untuk memeriksa, menguji, mengadili dan memutuskannya. Sehingga dengan lahirnya UU AP sangat membantu dalam penerapan UU Peradilan Tata Usaha Negara.




[1] UU No. 30 tahun 2014, pasal 87
[2] Ibid, Pasal 10
[3] Ibid, Penjelasan umum
[4] Ujang Abdullah, Reformasi Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Berkaitan Dengan Rancangan Undang-undang Administrasi Pemerintah.,hl. 1.,

Jual Beli Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Bawah Tangan

Jual Beli Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Bawah Tangan

I.              Pendahuluan
Manusia membutuhkan tanah dalam kehidupannya, maka tidak heran harta tanah menjadi sangat mahal bahwakan tidak sedikit orang beranggapan membeli tanah adalah menabung untuk masa depan dan investasi yang harganya akan selalu naik dari tahun ke trahun.

Masyarat kita memperoleh hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak melalui jual beli. Menurut Boedi Harsono, dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual-bei, hibah tukar menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli dalam hukum tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai.[1]

Pengertian jual beli sendiri menurut Peraturan Pelaksana dari UUPA yaitu PP No. 10 tahun 1961 yang telah diperbaharui dengan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, jual beli adalah perbuatan hukum pengalihan hak untuk selama-lamanya yang bersifat tunai. PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sendiri menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37 ayat (1) PP No. 24/ 1997 yang berbunyi;
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Hal ini juga diperkuat dengan pasal 2 ayat (1) PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPPAT) yang berbunyi sebagai berikut:

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengena hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu”.

Bahwa dari aturan hukum tersebut diatas maka jual beli tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal tersebut sebagai bukti bahwa telah dilakukannya jual beli hak atas tanah dan selanjut PPAT membuat Akta Jual Belinya yang kemudian dilanjutkan dengan pendaftarannya ke Kantor Pertanahan Setempat sesuai dengan lokasi tanah.

Namun tidak dapat dipungkiri di desa-desa masih banyak masyarakat yang melakukan jaul beli tanah tanpa campur tangan PPAT jadi jual beli tersebut hanya dilakukan antara pembeli dengan penjual dan ditutup dengan saling berjabat tangan maka detik itu juga tanah tersebut telah beralir kepemilikannya. Jual beli tersebut lazim disebut jual beli bawah tangan yang hanya didasarkan pada kepercayaan semata. Jual beli bahwa tangan terkadang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi sebagai bukti telah terjadinya jual beli dan tidak sedikit pula kwitansi yang menjadi bukti tersebut hilang karena sudah terlalu lama disimpan sehingga tidak tahu lagi keberadaannya. Selain kwitansi bukti kepemilikan atas tanah tersebut adalah setipikat yang masih atas nama pemilik yang lama (penjual). Hal tersebut sering menimbulkan masalah dalam proses hendak akan dilakukan balik nama, seperti pihak penjual telah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi berdomisili dimana, dan bisa juga penjual beritikad buruk menyatakan sertipikat atas namanya telah hilang dan dimohonkan sertipikat pengganti dengan alasan setipikat yang lama telah hilang, sehingga sertipikat pada saat pembeli akan mengurus balik nama baru akan diketahui telah lahir sertipikat pengganti.

II.            Permasalahan

Status Jual Beli Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Bawah Tangan.

III.           Pembahasan
Bahwa jual beli tentu tidak selamanya dapat berjalan dengan lancar, adakalanya timbul hal-hal yang sebenarnya diluar dugaan, dan biasanya persoalan ini timbul dikemudian hari, salah satu contohnya adalah dalam perjanjian jual beli tanah dan bangunan dimana salah satu pihak (dalam hal ini penjual) melakukan wanprestasi.
     
Wanprestasi dalam perjanjian jual beli berarti tidak dipenuhinya kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian pengikatan jual beli yang telah dibuat sebelumnya, misalkan tidak didaftarkanya proses pembuatan sertipikat tanahnya oleh penjual.

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.[2]

Untuk terjadinya sutau perjanjian adalah apabila kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Pihak penjual mempunyai dua (2) kewajiban pokok yaitu pertama menyerahkan barangnya serta menjamin pihak pembeli memiliki barang itu tanpa ada gangguan dari pihak lain dan kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Sedangkan pihak pembeli wajib membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan[3]. Berdasarkan ketentuan Pasal 1513 KUH Perdata menyatakan bahwa "kewajiban utama pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian."

Pelaksanaan jual beli tanah dimana kedua belah pihak yaitu antara penjual dan pembeli, telah terjadinya kesepakatan dan setuju mengenai benda dan harga, Si Penjual menjamin kepada pembeli, bahwa tanah yang akan dijual tersebut, tidak akan mengalami, sengketa, kepada pembeli, sedangkan pembeli menyanggupi untuk membayar sejumlah harga yang telah disepakati bersama.
     
Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “Obligatoir” saja, artinya jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459 KUH-Perdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan (menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan).[4]

Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :[5]
1.    Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
2.    Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek perbuatan hukum.
3.    Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan hak tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut.

Prestasi dalam perjanjian pengikatan jual beli biasanya berbentuk segala sesuatu yang menjadi kewajiban untuk dipenuhi oleh masing-masing pihak. Apabila perjanjian pengikatan jual beli yang dilanjutkan dengan jual beli akan dilaksanakan setelah sertipikat telah selesai dan didaftarkan atas nama penjual, maka prestasi penjual adalah segera melakukan pengurusan sertipikat tanah tersebut agar jual beli dapat segera dilakukan.

Berdasarkan perbincangan dengan Bapak Saleh, proses balik nama tidak dapat dilaksanakan, pada kantor pertanahan, jika pengalihan hanya dilakukan secara dibawah tangan, karena menurut beliau, belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga perlu dibuatkan suatu Akta.[6]

Kekuatan pembuktian suatu akta harus memenuhi tiga unsur yakni, kekuatan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian formil, dan kekuatan pembuktian materiel.[7] Yang dimaksud dengan ketentuan pembuktian lahir yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, yaitu surat (akta) yang tampak dianggap mempunyai kekuatan, sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

Disini dapat diketahui bahwa kekuatannya dilihat dari bentuk akta luarnya saja, dan tidak dilihat keseluruhan akta itu, apabila hal ini kita kaitkan dengan alat bukti yang dikemukakan dalam persidangan yakni berupa perjanjian pengikatan jual beli maka jelas di dalam perjanjian tersebut, para pihak telah saling membubuhkan tanda tangan pada akhir perjanjian dan paraf pada setiap lembar perjanjian, artinya syarat pembuktian “lahir” suatu akta cukup terpenuhi.

Kekuatan pembuktian formil menyangkut pertanyaan “Benarkah bahwa ada pernyataan?” kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar adanya akta itu adalah pernyataan dari mereka yang menandatangani akta tersebut. Kekuatan pembuktian formil ini memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta pembuktian lahir dari akta perjajnjian pengikatan jual beli cukup terbukti.

Bahwa pembuktian terhadap akta jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat dibuktikan dalam persidangan, sehingga perlu adanya perlindungan terhadap pembeli apabila penjual waprestasi, tentu membawa konsekuensi hukum yaitu:
1.    Adanya kewajiban denda yang harus dibayar atas kerugian materiel yang diderita pembeli, kerugian ini dapat berupa kerugian yang benar-benar dialami seperti uang muka yang telah dibayar, bunga yang telah diperjanjikan, atau keuntungan yang seharusnya diperoleh.
2.    Objek yang diperjanjikan dapat menjadi jaminan, bahwa penjual harus memenuhi terlebih dahulu kewajibannya, kemudian sita jaminan dapat dihapuskan, sita jaminan ini atau para pihak sebelum dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa untuk terjadinya jual beli tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus bersifat final, baik syarat formal maupun materiilnya, untuk syarat formal biasanya telah dipenuhinya persyaratan kelengkapan surat-surat (sertifikat, dan lainnya) yang menjadi bukti hak atas tanah.

Syarat materiil seperti harus lunasnya harga jual beli, sedangkan untuk tidak atau belum terpenuhinya kedua syarat tersebut, maka perjanjian pengikatan jual belilah yang biasanya dijadikan tujuan (landasan) terjadinya permulaan jual beli yang digunakan sebagai perjanjian pendahuluan sementara menunggu dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokoknya yaitu jual beli di hadapan PPAT. Namun demikian, jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah. Meskipun hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yaitu UUPA dan PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah meskipun hanya berdasarkan kwitansi. Hal itu didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126.K/Sip/ 1976 tanggal 4 April 1978 yang memutuskan bahwa :
“Untuk sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”.

Selain itu, menurut pendapat Boedi Harsono, jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah, jadi hak miliknya berpindah dari si penjual kepada si pembeli, asal saja jual beli itu memenuhi syarat-syarat materiil (baik yang mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya).[8]

Sangat dimungkinkan terjadi pertentangan antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat dan sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta oleh PPAT. Dengan demikian telah terjadi saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum perundang-undangan.

Tidak selamanya asas Statue Law Prevail atau undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasuistis, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi. Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan;
1)    Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum.
Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan ”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undangundang.

2)    Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra Legem
Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentinganumum, dibandingkan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi. Berbarengan dengan itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan. Disebabkan nilai bobot yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.
3)    Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan peraturan perundang-undangan.
Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :
a.    Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi; dan
b.    Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi fakultatif.[9]

Memang ada kemiripan cara ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif

IV.          Penutup
Bahwa status Jual Beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah tetap sah berdasarkan kwitansi Jual Beli. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126.K/Sip/ 1976 tanggal 4 April 1978 yang memutuskan bahwa :
“Untuk sahnya jual beli tanah, tidak mutlak harus dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta Pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”.

Selain itu, jual beli yang tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tetap sah, jadi hak miliknya berpindah dari si penjual kepada si pembeli, asal saja jual beli itu memenuhi syarat-syarat materiil (baik yang mengenai penjual, pembeli maupun tanahnya.

Penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pembeli, agar jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT dapat mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan meminta Putusan Pengadilan Negeri yang memberikan kepastian hukum kepada pembeli sebagai pemilik yang sah atas tanah dan bangunan diatasnya.




[1] Harun Al-Rashid, sekilas Tentang Jual-Beli Tanah Berikut Peraturan-peraturannya, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986, h. 51
[2] R. Subekti, Hukum Pembuktian,Jakarta, Pradnya Paramita 1979, hal. 161-162
[3] Loc. it
[4] R. Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermas, 1998, hal.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan
Hukum Tanah,Jakarta: Djambatan, 2002, hal. 317
[6] Perbincangan dengan Bapak Saleh, Legal BPN Kota Tengerang Selatan, Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Serang,
[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1977, hal. 107
[8] Saleh adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, Cetakan Pertama (Jakarta: Raja Grafindo, 1984),hal79-80
[9] Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, 1995, hal. 87